Di satu ruang tunggu sebuah apotek, aku menunggu seorang saudara. Aku sering kesini. Dan selalu, setiap aku kesini, duduk di ruang tunggu, seorang nenek dengan memakai tongkat jalan mendekatiku. Ikut duduk di sampingku.
Kami sering bercakap-cakap, bahkan diusianya yang senja, tentu beliau senang mendapat teman mengobrol. Mengobrol apa saja. Beliau hanya ingin ada orang yang mendengarkan. Aku pun, tak masalah mendengarkan semua apa yang dia ceritakan, ada banyak hal yang kudapat saat mendengar.
Seperti film dokumenter, aku mempunyai bayangan tentang apa yang diceritakan. Mungkin inilah, tanda akan datangnya kepikunan. Semua kenangan kuat di masa lalu akan detail hadir di ingatan yang mulai lemah.
“Nenek berpesan satu hal, jika Mbak ingin punya usaha, jangan pernah bermitra,” kata nenek dengan antusias.
“Kenapa Nek?” Kadang aku bertanya hanya sistematis. Aku pun juga kadang kurang bersemangat.
Mulailah cerita Nenek yang membuatku tertarik. Selanjutnya kita menggunakan inisial Nenek S. Kedua dokter senior ini adalah Dokter H dan Dokter W.
Nenek dulu adalah salah satu dokter muda di masanya. Waktu itu belum banyak dokter. Ada dua dokter senior di daerahnya. Dokter senior masa dahulu, pasti bisa dibayangkan betapa kondangnya. Bahkan anak panas jika dielus kepalanya oleh dokter senior ini langsung sembuh. Begitu santernya pamor kedua dokter itu.
Nenek S diajak untuk bersama membuka sebuah apotek. Waktu itu belum ada apotek di daerah ini. Nenek S yang masih muda tentu sangat merasa terhormat. Beliau dilirik oleh para dokter senior untuk bekerja sama. Padahal Nenek S waktu itu hanya punya sedikit uang. Para kedua dokter senior memberikan kelonggaran untuk Nenek S dalam melunasi modal.
Nenek S dan kedua dokter hanya menanam modal dan mempersiapkan semua kebutuhan fisik pembukaan apotek. Dokter W menunjuk Mas H, yang merupakan adik iparnya, untuk menjalankan kegiatan apotek. Karena Mas H ini adalah lulusan Sarjana Ekonomi. Nenek S dan Dokter H hanya bisa menurut, karena Dokter W inilah yang terkuat secara finansial dan pamor.
Selama apotek buka, para dokter ini tidak pernah sekali pun terlibat dalam kegiatan apotek. Semua sudah dikendalikan oleh Mas H. Keuntungan pun dibagi secara rata dan semua puas, awalnya.
Bangkai busuk tak dapat ditutupi lebih lama. Nenek S pun tak habis pikir. Awalnya dia ingin membeli infus, tapi di apotek mereka sedang kehabisan. Terpaksa harus membeli ke apotek pusat kota. Memang tabiat Nenek S ini suka beramah tamah.
“Apotek Ibu sangat laris ya. Pasti omsetnya sampai jutaan. Kalau ambil barang kan kemari, jadi saya tahu. Ini nota pembelian sampai sebanyak ini,” kata ibu pemilik apotek bahkan sambil memperlihatkan tumpukan nota.
Awalnya Nenek S paham maksudnya, karena memang keuntungan yang diterima setiap bulan lumayan. Tapi tetap keingintahuan Nenek S besar. Nenek S meminta ijin untuk beberapa saat melihat nota-nota tersebut. Nota sebanyak itu tidak sebanding dengan keuntungan yang dia terima.
Saat itu juga, Nenek S menuju apotek. Dia hendak melihat sendiri kegiatan di apotek. Setelah satu tahun, baru pertama kali dia masuk ke dalam usahanya, yang dianggapnya sebagai sumber pendapatan pasif.
Mas H sebagai penanggung jawab, tentu menjadi pusat pertanyaan Nenek S. Semua pertanyaan Nenek S dijawab hanya dengan “semua sudah dengan persetujuan Dokter W.”
Nenek S hanya diam, meskipun disini dia merasa ada ketidakadilan. Nenek S pulang, tapi ada rencana. Menjelang tengah malam, Nenek S mengajak seorang tukang kunci mendatangi apotek. Nenek S membuka gembok utama dengan bantuan tukang kunci. Karena kunci hanya dipegang oleh Mas H. Entah Dokter W dan Dokter H apakah benar tahu ketidakadilan ini, tapi Nenek S ingin memastikan dengan caranya.
Semua lemari di dalam apotek pun dibuka oleh tukang kunci. Semua pembukuan diperiksa saat itu juga. Nota-nota juga dipelajari meskipun sepintas. Dari penglihatan sepintas itu pun sudah terlihat bahwa keuntungan yang didapat tidak seperti perjanjian awal. Penghasilan yang didapat apotek sebegitu besar, dan keuntungan yang didapat hanya sedikit.
Pagi hari, Nenek S mendatangi Dokter W untuk mengadukan perihal keganjilan penghasilan dan keuntungan apotek. Tak lupa Dokter H pun dipanggil untuk rapat pertama kalinya. Mas H dipanggil, tidak dipecat, hanya tanggung jawab dialihkan kepada istri Dokter W. Mas H tetap bekerja di apotek. Karena apa? Karena dia adalah adik dari istri Dokter W. Dokter H apakah merespon? Tidak. Dia diam saja. Entah acuh, entah sudah tahu.
Ditangan istri Dokter W, tak kalah parah. Bahkan banyak tunggakan barang yang tak terbayar.
Keuntungan yang seharusnya didapat Nenek S menunggak. Disini Nenek S tak ada kuasa. Tapi dia punya doa. Dia berharap apoteknya segera bangkrut, karena sudah terlalu sakit hati.
Tak berselang lama, betul, apotek mengalami keruntuhan. Modal bahkan tak bisa kembali. Dokter W sudah tak mau tahu. Dokter H tak peduli. Nenek S juga diam ingin mengikhlaskan modal. Tapi saat inilah semua dimulai. Dokter W menawarkan agar apotek menjadi sepenuhnya milik Nenek S.
Harga tidak masuk akal dan Nenek S tidak mampu membayar seperti yang diminta Dokter W. Nenek S mundur. Tapi yang namanya rejeki tak akan salah alamat. Dokter W menurunkan harga hanya agar bisa mengembalikan modal mereka bertiga. Nenek S setuju.
Setelah menjadi milik Nenek S, semua karyawan dipecat untuk diganti yang baru. Nenek S meyakini, ada parasit di dalam karyawan lama. Karena tidak ada satu pun yang membuka kecurangan tersebut.
Dengan kedisiplinan dan ketegasan Nenek S, akhirnya semua diperbaiki. Berhasil. Apotek sudah berdiri hampir 35 tahun. Kini Nenek S sudah sangat tua, tapi apotek tetap dipantau langsung oleh Nenek S.
Dari situ saya jadi berpikir, usaha bermitra harus ada pembagian yang jelas. Banyak yang harus dipersiapkan. Tapi, solopreneur pun harus benar-benar pasang badan seorang diri tanpa ada mitra untuk bertukar ide.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI