Mohon tunggu...
Alifvia Aisy
Alifvia Aisy Mohon Tunggu... Lainnya - Hi!

senang membaca tentang finansial, kecantikan, dan isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Sering Melakukan Self-Diagnose? Ini Bahayanya Melakukan Self-Diagnose Terhadap Gangguan Mental

17 November 2020   20:00 Diperbarui: 19 November 2020   15:53 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pada era teknologi 4.0 ini, dengan teknologi yang maju, banyak warga net mengunggah cerita dirinya tentang gangguan mental atau kondisi kesehatan yang melibatkan perubahan emosi, pemikiran, atau perilaku (atau kombinasi dari semuanya) yang dimilikinya di jagat Twitter. Banyak dari warga net lain yang merasa tertarik terhadap cerita tersebut karena biasanya yang mereka tahu adalah kondisi kesehatan secara fisik. Dari cerita-cerita itu lah banyak warga net yang merasa dirinya merasakan hal yang sama seperti yang diceritakan oleh si penulis yang menderita gangguan mental, sehingga akhirnya kerap kali mereka melakukan self-diagnose.

                Self-diagnose itu sendiri adalah proses mendiagnosa atau mengidentifikasi mandiri kondisi medis dalam diri seseorang. Biasanya self-diagnose dapat dibantu oleh kamus medis, buku, sumber daya di Internet, pengalaman pribadi masa lalu, atau mengenali gejala atau tanda medis dari suatu kondisi yang sebelumnya dimiliki anggota keluarga atau orang lain. Saat ini, dengan bantuan teknologi yang canggih, saat seseorang merasa suatu hal yang berbeda sedikit mereka akan mencari tahu di laman pencarian Google, seperti dengan mengetikkan “ciri-ciri orang terkena anxiety disorder” lalu mencoba menyocokan dengan hal-hal yang dirasakan walaupun belum tentu artikel yang dibaca dan dijadikan acuan tersebut adalah sumber yang kredibel atau seseorang acap kali melakukan self-diagnose terhadap dirinya sendiri bahwa ia menderita suatu atau beberapa gangguan mental hanya dengan membaca atau mendengar cerita pengalaman dari orang-orang yang pernah atau sedang menderita gangguan mental. Menurut data yang diperoleh dari survei yang dilakukan oleh firma hukum Tinker, ditemukan bahwa 44% dari 3.000 orang Amerika telah mendiagnosis diri sendiri. Jika dihitung, berarti 1.320 dari 3.000 orang melakukan self-diagnose secara daring dengan menggunakan website yang menyediakan beberapa pertanyaan sederhana dan dapat memberikan kesimpulan diagnosis, seperti medoctor.com, symptoms.webmd.com, symptomate.com, dan website sejenis lainnya. Sehingga, dari data tersebut didapat kesimpulan bahwa banyak orang yang melakukan self-diagnose.

                Padahal, dengan melakukan self-diagnose, tingkat kesalahan pada hasil diagnosa pun sangat tinggi. Sedangkan, saat berkonsultasi ke ahlinya, psikolog atau psikiater, untuk mendapatkan hasil diagnosa, seorang psikolog atau psikiater akan melihat seseorang dari banyak factor, mulai dari keluhan, gejala, riwayat kesehatan, dan factor lainnya. Bahkan seorang pasien dapat diminta untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut karena hasil diagnosa sebelumnya belum bisa disimpulkan. Karena sesungguhnya gangguan mental adalah suatu hal yang tidak sesederhana itu sehingga didapatkan hasil diagnosanya hanya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana dari website yang telah disebutkan sebelumnya. Untuk mendapatkan hasil diagnosa itu sendiri pun dibutuhkan observasi yang mendalam oleh psikolog atau psikiater. Selain untuk mengetahui apakah orang tersebut memiliki gangguan mental atau tidak dan jika iya, maka akan diketahui gangguan mental apa yang dimiliki, dengan berkonsultasi dengan psikolog maupun psikiater juga diketahui sudah seberapa parah gangguan mental tersebut.

                Oleh karena hasil dengan tingkat kesalahan yang tinggi tersebut, mereka yang melakukan self-diagnose dapat mengalami misdiagnosis atau kesalahan diagnosa, seperti mereka mendiagnosa diri mereka bahwa mereka menderita anxiety disorder padahal sebenarnya mereka memiliki gangguan kesehatan secara fisik yang sudah cukup parah atau gangguan mental lainnya, sehingga dari kesalahan hasil diagnosa itu lah seseorang bisa saja memperlakukan diri mereka sendiri secara salah. Misalnya, dengan membeli obat-obatan yang disarankan oleh artikel yang ia baca, atau bahkan obat-obatan ilegal yang dapat memperparah kondisinya dan menimbulkan efek samping lain. Atau justru memicu munculnya gangguan mental baru karena khawatir berlebihan sehingga akhirnya mengalami depresi yang awalnya tidak ada. Di samping itu, dengan salahnya hasil diagnosa, menjadikan penyakit-penyakit yang sebenarnya ada malah menjadi tersampingkan atau terabaikan, dan lagi-lagi bisa menjadi semakin parah.

                Seharusnya, setelah seseorang melakukan self-diagnose, ia berkonsultasi ke psikolog atau psikiater untuk dicari tau pastinya, apakah benar ia memiliki gangguan mental, apakah gangguan mental tersebut, dan sudah seberapa parahkah gangguan itu. sehingga gangguan tersebut mendapatkan penanganan yang benar. Karena, Sebuah studi tahun 2013 bahkan menemukan bahwa hanya setengah dari orang yang mencari informasi tentang status kesehatan mereka (melakukan self-diagnose) yang benar-benar berkonsultasi dengan dokter. Sedangkan, menurut seorang blogger kesehatan mental, Claire Estham, Masalah kesehatan mental itu adalah suatu hal yang penting, dan jika suatu saat kita merasa tertekan, itu belum tentu kita menderita depresi secara mental.

Dari pemaparan di atas, dapat terlihat betapa bahayanya melakukan self-diagnose tanpa didampingi oleh ahli dan ilmu yang memadai. Karena dengan melakukan self-diagnose hasil diagnosanya pun memiliki potensi salah yang tinggi, sehingga dapat menyebabkan kesalahan mendiagnosa, memperlakukan atau menangani diri secara salah, gangguan kesehatan yang sebenarnya malah terabaikan, memperparah gangguan yang pernah di alami sebelumnya, bahkan menimbulan gangguan-gangguan yang sebenarnya tidak ada karena khawatir yang berlebihan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun