Mohon tunggu...
Alie Hariadi
Alie Hariadi Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa aktif

hobi saya mendengarkan music bahasa inggris

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perekembangan peserta didik di area pesantren

2 Juli 2022   20:58 Diperbarui: 2 Juli 2022   20:59 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abstrac

Menghadapi Murid/Santri yang Nakal -- Murid/santri "nakal" pasti selalu ada di setiap sekolah/madrasah. Mereka adalah bagian dari pendidikan, yang menjadi tugas guru untuk siap menanganinya. Menurut para ahli pendidikan, setiap anak pasti memiliki karakter khas yang memerlukan cara khusus membimbing dan mendidiknya. Maka, inovasi dalam mendidik, khususnya anak murid yang dianggap "nakal" harus diperhatikan, agar misi pendidikan dan pengajaran berjalan sesuai tujuan.Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Wjs Poerwadarminta, 772), kenakalan adalah tingkah laku secara ringan yang menyalahi norma atau aturan yang berlaku di suatu masyarakat. Pada era globalisasi ini tingkat kenakalan siswa semakin meningkat, terjadi baik di perkotaan maupun pedesaan.Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya perbuatan nakal siswa, antara lain kurangnya perhatian dan kasih sayang orangtua, perlakuan yang tidak merata terhadap anak dalam keluarga, serta pengaruh lingkungan masyarakat. Maka artikel ini akan menguak bagaimana bentuk bentuk kenakalan remaja di lingkungan pesantren dan bagaimana menanggulinya.

Pendahuluan 

Masalah kenakalan siswa, tak lepas dari masalah kenakalan remaja, terlebih bagi siswa sekolah menengah yang rata-rata berusia 13--21 tahun.

Remaja yang tengah mengalami fase peralihan dari anak menjadi dewasa, dalam segala segi rentan mengalami goncang dan ketidakpastian. Perubahan dan kegoncangan yang terjadi pada siswa remaja, biasanya berupa pertumbuhan jasmani serta perubahan fungsi tubuh yang kerap menggangu emosi atau perasaan mereka.

Kenakalan dalam batas tertentu dapat berakibat negatif, terutama bagi pelakunya atau orang lain. Pada diri pelaku, kenakalan antara lain akan mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku yang baik menjadi buruk, hingga menurunkan prestasi belajar. Akibat yang lebih fatal akan terjadi jika siswa nakal "berhasil" mempengaruhi siswa lain, hingga jumlah siswa nakal bertambah.

Pakar psikologi Kartini Kartono dalam beberapa karyanya menyebutkan, kenakalan pelajar dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Seperti kurangnya perhatian dan kasih sayang orangtua, atau pengaruh lingkungan yang kurang memperhatikan pendidikan, terutama pendidikan agama.

Dalam banyak kasus, kenakalan anak di sekolah bisa menghambat proses belajar mengajar di sekolah itu sendiri. Anak-anak yang memasuki sekolah, tak semuanya berwatak baik. Karena mereka datang dari beragam latar budaya, bahkan ada yang berasal dari kalangan keluarga yang kurang memperhatikan kepentingan anak dalam belajar.

Mereka inilah kerap mempengaruh kondisi teman lainnya. Dan dalam kondisi tertentu, sekolah juga kadang menjadi tempat lahirnya konflik psikologis yang memudahkan anak menjadi nakal.

Proses pendidikan di sekolah tak tertutup kemungkinan membuat anak menjadi nakal. Kondisi pendidik/guru yang kurang rajin memperhatikan anak didik, atau sering tak melaksanakan tugas dan membuat anak didik terlantar, perlakuan guru yang tidak adil, hingga hukuman atau sanksi yang kurang menunjang tercapainya tujuan pendidikan, sangat mempengaruhi terbentuknya sifat nakal siswa.

Proses belajar yang kurang menguntungkan bagi perkembangan jiwa anak/siswa, kerap memberi pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap peserta didik di sekolah, sehingga dapat menimbulkan kenakalan.

Karena, dalam proses belajar mengajar, siswa menghadapi banyak masalah yang sangat kompleks hingga mendorong mereka melakukan kenakalan. Beberapa kasus kenakalan yang umum dilakukan siswa antara lain kebiasaan merokok, membolos, memalsu tanda tangan orangtua, melanggar tata tertib sekolah, hingga menyelewengkan uang SPP.

Lembaga pendidikan dalam melakukan pembinaan terhadap peserta didik melalui manajemen peserta didik yang diterapkan tentunya disesuaikan dengan visi misi dari lembaga tersebut, seperti sekolah atau madrasah yang berada di 11 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 12 Ali Imron, Manajemen Peserta Didik Berbasis Sekolah, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012), 6. 13 E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Startegi, dan Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 45-46. 14 Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2012), 205. Manajemen Peserta Didik Berbasis Pesantren ... Volume 7, Nomor 2, Desember 2019 173 bawah naungan pesantren misalnya. Sekolah atau madrasah yang berada di bawah naungan pesantren tersebut tentunya juga akan menerapkan model manajemen peserta didik yang mampu mengakomodir visi misi pesantren terkait output yang diharapkan. Pola kehidupan pondok pesantren dan pendidikan yang berada di bawah pengelolaannya termanifestasikan dalam istilah "panca jiwa", di mana di dalamnya memuat "lima jiwa" yang harus diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter peserta didik. Kelima jiwa tersebut adalah jiwa keihklasan, jiwa kesederhaan, jiwa kemandirian, jiwa ukhuwah Islamiyyah, dan jiwa kebebasan yang bertanggung jawab.15 Mukti Ali sebagaimana dikutip Abd. Halim Soebahar menjelaskan, tata pengelolaan peserta didik dengan basis pesantren paling tidak harus memiliki ciriciri: pertama, adanya keakraban yang terjalin antara peserta didik dengan kyai dan mu'allim. Kedua, dalam proses belajar mengajar muncul ketundukan peserta didik kepada kyai. Ketiga, gaya hidup sederhana. Keempat, sikap kemandirian yang kuat. Kelima, jiwa tolong-menolong. Keenam, disiplin tinggi. Ketujuh, berani menderita untuk mencapai suatu tujuan (tirakat). 16 Dengan demikian dapat dijelaskan, bahwa yang dikehendaki dengan manajemen peserta didik berbasis pesantren adalah sistem pembinaan atau pengelolaan peserta didik yang dalam setiap prosesnya selalu dalam bingkai "lima jiwa" pesantren yang termanifestasi dalam bentuk budaya dan tradisi pesantren yang merupakan warna atau corak kehidupan sehari-hari di pesantren. Lembaga pendidikan formal di bawah naungan pesantren -yang merupakan pengembangan pesantren- dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran diupayakan selalu dalam iklim pembentukan sikap yang mengacu pada jiwa keihklasan, jiwa kesederhaan, jiwa kemandirian, jiwa ukhuwah Islamiyyah, dan jiwa kebebasan yang bertanggung jawab berlandaskan Ahlu sunnah wal jama'ah.

Maka dari itu pemberian materi serta cara mendidik santri berbeda-beda bagi santri

Santri remaja usia ( 13-15 )

Usia smp antara umur 13-15 tahun maka cara terbaiknya adalah dengan memberikan uswatun hasanah atau contoh yang baik karena dengan uswatun hasanah akan memberikan atsar atau bekas didikan yang mendalam maka dari itu uswatun hasanah sangat di perlukan , dan ketika santri usia smp melakukan kesalahan sikap tegas adalah jalan utama yang perlu diambil karena sikap tegas berupa kosekuensi yang akan ditegakan bagi siapa yang melanggar peraturan, maka apabila sikap ini diambil ini akan membuat mereka jera serta akan teringat dan menjadi tabiat ketika santri ini sudah dewasa .

Santri Dewasa

Santri usia dewasa dengan umur 16 dst, maka cara mendidik santri di usia ini adalah dengan cara memberi mereka tanggung jawab atas sebuah tugas , dan apabila mereka melakukan kesalahan cara yang bagus untuk menindaknya adalah dengan mendekati dan mencari tahu atas dasar apa dia melakukan sebuah kesalahan dan kemudian memberikan kepercayaan untuk tidak mengulangi lagi sehingga dia akan mengerti karena santri usia dewasa membutuh kan pengertian yang baik.

Kesimpulan

tidak ada yang namanya santri nakal karena yang ada adalah santri nyang kurang perhatian kurang perngertian maka dari itu sebagai kita harus memperhatikan segala kemungkinan dan bertindak sesuai porsi dalam mengatasi segala problem yang terjadi di antara santri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun