Mohon tunggu...
Aliefia Diwandana
Aliefia Diwandana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa jurusan Psikologi UIN Maliki Malang angkatan 2013

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Kupikir Itu Menyenangkan

27 Mei 2016   06:18 Diperbarui: 27 Mei 2016   07:26 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Hari ini masuk sekolah baru yang pertama kalinya, Nada harus jadi anak baik ya di sekolah.” Ujar ibuku. “Iya bu, Nada siap masuk ke sekolah yang baru.” Ini aku atau kurang lebih gambaran diriku sewaktu akan masuk ke sekolah dasar. Kupikir aku akan senang berada di sekolah yang baru, ya begitu pikirku.

Sekolahku berisi begitu banyak anak orang kaya, orang tuaku tidak seperti mereka yang jelas dan orang tuaku berkata, “boleh minder itu kalo kamu ga bisa apa-apa soal pelajaran. Masalah harta itu lihat yang di bawah, bukan di atas.” Aku pikir aku akan bisa mengikuti apa kata orang tuaku, tapi pergaulan tidak semudah yang mereka katakan, you’ll be chosen if you’re worth it to be chosen and that’s the reality guys.

 Di tahun pertama, kedua dan ketiga, tidak ada kejadian yang begitu membuatku muak, bahkan aku sangat senang berada di sekolah itu. Setidaknya aku mengenal beberapa anak orang berada tetapi mereka sangat ramah dan jika kamu jadi aku pun, aku yakin kalian akan senang mengetahui fakta ini. Aku juga berhasil mendapatkan 3 orang yang bisa kuanggap menjadi temanku. Dina, Fiona dan Tara, mereka bertigalah yang aku bisa anggap menjadi temanku dalam keseharian, yang menemaniku sampai di kelas tiga.

Tapi, kesenangan itu berubah seketika. Aku naik ke kelas empat dan masuk kelas unggulan. Aku tidak pernah bergaul dengan anak-anak yang notabenenya pintar dan aku tidak pernah menggolongkan diriku menjadi anak pintar, jadi aku tidak pernah tahu rasanya bersama dengan anak-anak pintar meski Tara, Fiona dan Dina adalah teman-temanku yang pintar. Aku berpisah dari mereka, di kelas ini aku benar-benar sendirian. Hanya beberapa anak saja yang kutahu, aku kehilangan arah. Bagiku, mereka hilang. Disini hanya ada aku seorang. Aku bukan anak yang maniak duduk depan sedari dulu, jadi aku selalu memilih bangku di nomor 3 atau 4. Number one never be my favorit. “Ayo semua duduk, selamat datang di kelas 4-A semuanya. Wah, ini isinya anak-anak pintar semua pasti kan ya. Perkenalkan nama saya Pak Sony yang akan menjadi wali kelas kalian. Oh iya, di kelas ini akan saya buat peraturan duduk sesuai absen ya.” Aku yang awalnya hanya mendengarkan tanpa ada jiwa disana, tiba-tiba terpanggil dengan kata absen. Sial, aku absen 15 dapet di daerah mana ya, batinku. Setelah aku menghitung, aku dapat di bagian paling depan. Ey, sepertinya akan jadi tahun terburukku.

Aku berpindah dari seat nomor 4 menjadi bangku urutan pertama. Aku duduk bersama dengan anak laki-laki yang aku tidak pernah kenal sebelumnya, namanya Raka. Aku berkenalan sedikit dengannya, “Nada.” dan dia hanya menjawab, “Oh, Raka.” Tiba-tiba ada yang aneh pada diriku, aku merasa detak jantungku berdetak sangat kencang, apa ini? Rasa apa ini? Hari terus berlalu dan aku belum bisa menemukan jawaban atas pertanyaanku di hari pertama, sampai akhirnya ada temanku berkata kalau dia sedang menyukai seseorang dan jantungnya berdegup kencang ketika melihat cowok tersebut. Aku tertegun, ini cinta pertamaku? Raka adalah cinta pertamaku? Begitu kupikir. Tetapi harapanku jatuh, ketika Raka ternyata telah memiliki pacar yang sangat cantik dan juga temanku di kelas itu. Padahal aku tiap hari menulis diary berisi tentang dia, tapi kini tidak ada gunanya lagi pikirku.

Hal terburuk belum datang, kawan. Ini akan dimulai, cerita yang sebenarnya akan segera mulai. Siapkah kalian? Baiklah, ayo mulai.

Nada, seorang anak yang paling anti pergi ke kamar mandi umum (sekolah atau mal) karena aku selalu berpikir bahwa kamar mandi umum itu jorok. Meski di sekolahku yang mahal ini ada cleaning service tapi aku tetap tidak suka pergi ke kamar mandi sekolah. Hari ini aku pergi ke sekolah dengan hati setengah-setengah. Paginya aku mengalami sakit perut parah, tapi aku tetap mau masuk sekolah saja karena ibuku juga berpikir ini nggak bakal jadi penyakit yang lama disembuhin, paling ya hanya karena pagi hari jadi perutnya sakit, yah dan hal tersebut tidak sesuai dengan keinginan ibuku. Sakit perutku bertambah parah di sekolah, hati kecilku menyuruhku untuk pergi ke kamar mandi sekolah, tapi gengsiku mengatakan hal yang berbeda.

Aku berusaha menahan sakit perut yang parah itu tetapi gagal, akhirnya aku pergi ke ruang TU dan menelepon ibuku agar dijemput pulang. Sambil menunggu, aku pergi mengambil tasku di kelas dan disana ada 2 teman kelasku yang melihatku dengan tatapan jijik, “loh pulang? Nggak solat dhuhur?” aku hanya menggeleng dan segera berlari menuju TU, berharap ibuku sudah datang. Sesampainya di rumah aku langsung bebersih diri dan minum obat diare. Ibuku marah, “kenapa nggak ke kamar mandi sekolah aja?” tapi aku hanya menggeleng dan menunjukkan muka risih. “mesti deh kamu ini, sampe pipis aja ditahan sampe sore itu ga baik padahal.” Aku hanya tersenyum dan pergi tidur, berharap obatnya manjur biar aku bisa pergi ke sekolah besok.

Esok paginya, aku berangkat dengan wajah ceria. Tetapi sampai di kelas, aku melihat tidak ada bangku milikku di kelas, “bangkuku dimana, Ber?” tanyaku pada Berlian. Semua anak di kelas memandangku jijik dan Berlian menjawab, “Oh, kamu masih di kelas ini toh? Haha, fear factor duh.” Aku nggak paham pada awalnya, tapi akhirnya aku tahu maksudnya, ini gara-gara kejadian kemarin. Karena sakit perut parahku itu. Aku akhirnya memasukkan bangkuku yang mereka taruh di luar dan guru wali kelasku pun tidak menggubris perilaku anak-anak, aku kesal saat itu. Tapi masih bisa aku pahami, yah aku bukan anak siapa-siapa disini, kalo bikin masalah kasihan ibu sama bapak di rumah yang susah-susah nyekolahin di sekolah mahal ini. Pelajaran berlangsung, kupikir mimpi burukku berhenti sampai disitu. Tidak kawan, itu tidak terjadi sesuai harapanku.

Pelajaran Bahasa Indonesia, hari ini kami disuruh mencoba membuat pidato dan maju ke depan kelas. “Baik, ibu pilih ya yang maju duluan siapa. Absen 15.” Aku menghela nafas, uh kenapa aku sih, batinku. Ketika aku berdiri dan berjalan maju, semua anak menyoraki dengan berkata “FEAR FACTOR! FEAR FACTOR! Huuuuu!! Cie fear factor maju!!” Entahlah, aku bahkan lupa bagaimana wajahku saat itu, merah padam mungkin tapi aku tetap melanjutkan pidatoku sampai akhir. Sepanjang tahun aku masih disebut dengan panggilan itu, aku sudah muak di sekolah ini ya Tuhan. Aku harus bagaimana, batinku.

Fiona, Tara dan Dina tidak membantu banyak soal hal itu, entahlah mungkin mereka juga mulai jijik padaku. Aku tidak mau mempercayai siapapun mulai saat itu juga. Kelas empat berlalu dan masuk ke kelas lima, aku masuk lagi ke kelas unggulan dan dengan teman yang sama. Ini kapan lulusnya ya Tuhan, tulisku di buku harian. Kututup buku harianku dan meletakkannya di laci meja. Pulang sekolah, aku lupa mengambil kembali buku harianku dan akhirnya tertinggal di sekolah. Aku baru sadar ketika pagi akan berangkat sekolah, aku ingin meninggalkan buku harianku di rumah saja, tapi saat kucari bukunya tidak ada. “Aduh ketinggalan di laci berarti ya.” Ucapku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun