Mohon tunggu...
Ali Arramitani
Ali Arramitani Mohon Tunggu... Mahasiswa - ala bisa karena biasa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga NIM : 20107030076

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tumang, Nilai Mistis dan Filosofisnya Bagi Suku Tengger di Bromo

17 Maret 2021   19:21 Diperbarui: 17 Maret 2021   19:25 2009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tidak tahu eksotisme gunung Bromo yang sangat menakjubkan dan memukau mata dunia? Rasanya hampir mustahil jika orang Indonesia bahkan luar negeri untuk tidak mengetahui yang namanya Bromo. 

Dengan segala keindahan alam yang tersaji dalam salah satu dari tujuh keajaiban dunia ini, akan membuat tiap pasang mata berbinar seakan mendapat bocoran nikmat surgawi. Padang rumput, laut pasir, dan jalanan yang bergelombang akan setia menemani perjalan orang-orang menuju puncak tersohor dunia, kawah gunung Bromo.

Gunung yang terletak di 4 kabupaten sekaligus di Jawa Timur ini merupakan destinasi wisata yang acap kali masuk ke dalam list liburan banyak orang. 

Malang, Pasuruan, Lumajang, dan Probolinggo adalah 4 kabupaten yang beruntung memiliki gunung dengan keindahan surgawi Bromo. Tidak hanya keindahan alamnya saja, akan tetapi budaya tradisional masyarakatnya masih erat tak lekang oleh waktu.

Suku Tengger, adalah suku asli yang menempati lereng gunung Bromo. Suku ini sudah ada dari zaman kerajaan Majapahit. Banyak yang kurang mengetahui keberadaannya karena bahasa yang dipakai pun sedikit terdengar kurang familiar, bahasa asli suku ini adalah bahasa jawa kawi yang saat ini sudah jarang dipakai oleh masyarakat suku jawa modern. 


Namun tidak sedikit dari orang orang suku tengger yang menggunakan bahasa osing, yaitu bahasa asli suku osing di Banyuwangi yang memang sangat mirip dengan bahasa jawa. Mayoritas orang-orang suku Tengger berkeyakinan agama hindu, dan sebagian lagi beragama islam dan kristen.

Orang orang suku tengger memiliki ciri khas pada fisiknya yaitu pipi merah yang warnanya menyerupai buah tomat, dan akan makin memerah saat bersentuhan dengan sinar matahari. 

Selain itu, biasanya orang orang suku tengger akan mengalungkan sarung tenun khas suku tengger di setiap aktivitasnya, mulai dari bekerja, memasak, dan menggendong anak.

Masyarakat suku tengger sangat memegang erat budaya warisan leluhurnya berupa ritual dan upacara adat seperti karo, yadnya kasada, unan-unan, entas-entas, dan leliwet.

Namun, yang akan dibahas pada artikel ini bukan upacara adat yang telah disebutkan, akan tetapi sesuatu yang terdapat di dalam dapur mayoritas masyarakat tengger.

dokpri
dokpri

Tumang, atau gegeni merupakan unsur penting bagi orang-orang suku tengger.

Tumang atau gegeni sendiri adalah tempat menyalakan api untuk kebutuhan masak atau sekedar menghangatkan tubuh, mengingat suhu rendah di sekitar lereng gunung Bromo. 

Terbuat dari tumpukan bata seperti bangunan tembok namun hanya setinggi kaki balita. Uniknya, eksistensi dari tumang ini tidak hanya bersifat fungsional akan tetapi sangat erat dengan nilai budaya dan memiliki nilai mistis dan filosofisnya yang tak lekang oleh zaman.

Fungsi dari tumang ini sama seperti kompor tradisional pada umumnya, digunakan untuk memasak dan berbahan bakar kayu bakar. Meski begitu bukan berarti orang-orang suku tengger tidak memiliki kompor gas, akan tetapi memang tumang menjadi bagian penting di dalam tatanan rumah masyarakat suku tengger.

Nilai mistis, hampir semua suku di Indonesia memiliki budaya warisan bernilai mistisnya masing masing.

Tumang pun begitu, masyarakat sekitar percaya bahwa di dalam tumang tersebut terdapat dua penunggu. Menurut pengakuan warga sekitar dua penunggu tersebut yaitu Aki Thowok dan Nini Thowok.

"kalau Aki Thowok itu laki-laki kalau Nini Thowok itu perempuan" ujar Yayuk (43) seorang warga desa Sukapura, kab. Probolinggo.

Karena kepercayaan akan hal itu maka dibuatlah tradisi untuk meletakkan sedikit makanan yang baru saja matang seperti nasi, kacang hijau, biji jagung, bubur di sisi atas tumang tepat di atas lobang kayu bakar. Tradisi tersebut merupakan bentuk rasa syukur sekaligus meminta pertolongan kepada kaki thowok dan nini thowok agar diberi keselamatan selama proses kegiatan memasak. Biasanya warga menyebutnya sebagai sandingan atau dalam bahasa indonesia adalah suguhan.

Selain itu, warga percaya bahwa dandang yang miring saat memasak nasi akan membawa bencana pada keluarga. Maka dengan segera warga yang mengalami hal tersebut memasak jenang khas jawa timur yaitu jenang kathul sebagai penolak bala.

Jika sudah, maka nasi yang ada di dalam dandang boleh untuk dikonsumsi. Jenang kathul diberikan sebagai persembahan atau sandingan untuk kaki thowok dan nini thowok.

Masih belum selesai, warga yang memasak menggunakan tumang tidak boleh memasukkan kayu dengan menggunakan kaki atau sekedar menendang kayu tersebut karena akan mengundang celaka bagi yang melakukan. 

Percaya atau tidak hal tersebut sudah menjadi pamali bagi warga suku tengger. Mungkin hal ini sebagai penegasan bahwa tata krama sangatlah dijunjung tinggi.

Agak melenceng dari pembahasan hal-hal mistis tadi, rupanya tumang memiliki nilai filosofis yang tinggi bagi kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.

Tumang adalah simbol kerukunan karena dengan tumang suatu keluarga bisa berkumpul untuk menghangatkan tubuh bersama. Duduk mengitari tumang dan berbincang dengan ditemani 'wedang' teh, kopi, atau jahe sangat membuat suasana menjadi hangat. Hal ini yang jarang dimiliki oleh warga suku yang lain. 

Bahkan tidak jarang tuan rumah mengajak tamu untuk turut menghangatkan tubuh dan menyantap makanan yang telah dihidangkan. Kerukunan antar sesama menjadi simbol penting dalam kehidupan manusia, khususnya kehidupan masyarakat tradisional yang notabene jauh dari hiruk pikuk kota.

Mungkin di perkotaan kita tidak akan menemui budaya yang seperti itu, begitu hangat dan rukun meskipun banyak nilai nilai mistis yang terkandung di dalam tumang.

Maka tidak mengherankan jika gunung bromo terus menjadi destinasi wisata top dunia, dimana keindahan alam khas pegunungan menjadi sangat manis ketika menyatu dengan budaya leluhur suku tengger yang sangat erat dengan nilai nilai kerukunan antar manusianya.

Eitss kalian udah pada kesini belom sih? Kalau belum, harus segera untuk membuat agenda berlibur ke Bromo yaaa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun