Apakah sebuah bangsa bisa dikalahkan tanpa peluru ditembakkan? Jawabannya: bisa. Di era digital, perang tidak lagi membutuhkan tank, kapal induk, atau rudal balistik. Senjata paling mematikan kini adalah narasi disampaikan lewat media sosial, didorong algoritma, dan ditanamkan ke kesadaran publik.
Inilah wajah baru proxy war, perang perpanjangan tangan yang sunyi namun sistematis.
Medan Perang Baru: Pikiran Kolektif
Dalam sejarah, proxy war berarti keterlibatan pihak ketiga untuk mewakili kepentingan negara besar. Namun, abad ke-21 menghadirkan evolusi: medan perang bergeser dari daratan ke ruang digital, dengan sasaran utama pikiran kolektif manusia.
 "Dulu kita berperang untuk wilayah. Kini kita berperang untuk narasi."
Pertempuran persepsi ini berlangsung tanpa gencatan senjata, tanpa deklarasi perang, tetapi dampaknya bisa lebih destruktif dari konflik bersenjata.
Algoritma: Senjata Baru yang Tak Terlihat
Jika senjata kimia meracuni tubuh, maka algoritma meracuni pikiran. Platform seperti Facebook, TikTok, hingga X bukan sekadar ruang interaksi, melainkan arena manipulasi.
Laporan We Are Social (2024) menunjukkan 5,16 miliar orang aktif di media sosial. Dengan skala sebesar itu, satu narasi terkoordinasi dapat memengaruhi opini global hanya dalam hitungan jam.
Algoritma tidak netral. Ia dapat diarahkan untuk menguatkan isu tertentu, menenggelamkan narasi lain, dan memecah belah masyarakat.
Indonesia: Target Empuk Proxy War Digital