Masjid adalah Jantung Umat: Antara Fasilitas, Suara Azan, dan Harapan
Oleh: Ali Akbar Harahap, S.Kom., M.Sos.
Masjid adalah jantung umat. Ia bukan hanya ruang untuk sujud dan doa, melainkan juga rumah besar yang menampung keluh kesah masyarakat. Dari masjid, lahir semangat kebersamaan, kepedulian, dan solidaritas. Namun, perhatian terhadap masjid sering kali berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perbedaan itu terasa nyata ketika kita membandingkan antara masjid di Medan dan Jakarta.
Seorang ustaz pernah menuturkan kepada saya melalui telepon, betapa banyak masjid di Medan yang dirasa kurang diperhatikan. Fasilitas terbatas, dukungan armada pun minim. Bahkan, ada masjid yang dibuka hanya sampai pukul enam pagi, lalu segera digembok kembali. Padahal, masjid sebagai jantung umat seharusnya terbuka sepanjang waktu menjadi tempat masyarakat bersandar, mengadu, dan merasakan hangatnya persaudaraan. Dalam lingkup kecil, seharusnya tidak ada satu rumah pun di sekitar masjid yang dibiarkan kelaparan, sebagaimana pesan QS. Al-Ma'un tentang pentingnya kepedulian sosial.
Sementara itu, Jakarta memperlihatkan wajah lain. Dari tata kelola fasilitas hingga pengelolaan area pemakaman, banyak masjid di ibu kota yang dikelola lebih tertib dan profesional. Di sini terlihat adanya penerapan good governance dalam skala lembaga keagamaan: transparan, akuntabel, dan efektif dalam melayani jamaah. Kesadaran kolektif masyarakat urban, ditambah dukungan pemerintah daerah, membuat masjid di Jakarta lebih terorganisir dalam menjawab kebutuhan umat.
Namun, Medan sesungguhnya menyimpan keunggulan yang khas. Dulu, lantunan azan dan bacaan qori di Sumatera Utara begitu merdu, menggetarkan hati, dan menjadi kebanggaan. Suara muazin adalah syiar yang menghidupkan ruh keislaman masyarakat. Sayangnya, belakangan ini kualitas itu dirasa menurun, bahkan kalah oleh Jawa Barat yang kini lebih unggul dalam melahirkan qori dan muazin berbakat. Fenomena ini menunjukkan adanya cultural la ketertinggalan budaya religius yang tidak sejalan dengan modernisasi kelembagaan.
Keterbatasan fasilitas di Medan tidak bisa dilepaskan dari distribusi sumber daya yang belum merata. Data Kementerian Agama RI (2022) memang mencatat jumlah masjid di Indonesia terus bertambah, tetapi tidak semuanya mendapat dukungan pembinaan yang sama. Inilah tantangan struktural yang menuntut adanya kebijakan afirmatif: daerah-daerah yang tertinggal perlu diprioritaskan agar tidak makin jauh tertinggal. Sebagaimana ditegaskan Rawls (1971) dalam teori keadilan, yang paling lemah harus lebih dahulu diperhatikan demi terciptanya keseimbangan sosial.
Syiar melalui azan dan bacaan qori juga tidak boleh dipandang sepele. Suara azan yang indah bukan hanya estetika, tetapi juga kekuatan spiritual yang membangunkan hati umat. Hadis riwayat Bukhari-Muslim bahkan menegaskan keutamaan muazin sebagai pembawa kabar panggilan Allah. Karena itu, perlu ada program serius di Medan untuk membina muazin muda, menghidupkan kembali tradisi qori, dan menjadikan syiar suara sebagai identitas daerah.
Masa depan masjid di Medan akan sangat ditentukan oleh sejauh mana pengurus, pemerintah, dan masyarakat mau berkolaborasi. Perpaduan antara profesionalisme tata kelola dan kekuatan tradisi lokal akan menjadikan masjid tidak hanya megah secara fisik, tetapi juga kokoh secara fungsi sosial. Dari situlah, masjid sebagai jantung umat akan kembali berdetak kuat---menjadi pusat peradaban, tempat lahirnya solidaritas, tempat tumbuhnya kepedulian, dan tempat bersemayamnya harapan.
Referensi
Dwiyanto, A. (2006). Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Geertz, C. (1976). The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press.