Mohon tunggu...
Ali Azhari Siagian
Ali Azhari Siagian Mohon Tunggu... Guru - Guru/Tentor/Anak Kamar

aku suka menulis dan membaca, ku tulis apa yang menurutku layak di share dan di publikasikan, aku juga suka drama di dalam hidup dan itu bisa menjadi karya. (Dosa membuat kita dewasa ; Muhidin. M. Dahlan-Tuhan izinkan aku menjadi pelacur)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengawas Ujian Semester Genap

16 Juni 2022   18:39 Diperbarui: 16 Juni 2022   18:43 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

oleh : Ali Azhari Siagian

Pagi itu sekitar pukul 5.12wib aku melihat jadwalku sebagai pengawas ujian, ku lihat aku mengawas di kelas XI dengan Jurusan Pertanian, tetapi rekan guru ditempat aku mengajar menelpon untuk bertukar kelas, "Pak Dian, ini saya Bu Nabila, bisa kita tukar kelas Pak, saya ingin masuk di kelas Pertanian tempat Bapak mengawas ujian, saya wali kelasnya Pak Dian, ada yang ingin aku sampaikan", aku pun mengiyakan karena menurutku saling membantu rekan kerja itu penting, kita juga bakalan butuh bantuan mereka nanti suatu saat jadi aku mengawas ujian di kelas XI jurusan Listrik. 

Tibalah jam 09.00 artinya giliran sesi kedua untuk masuk atau pergantian mata pelajaran yang diujiankan, aku pun dengan semangat pagi itu mengawas dengan kejujuran menjadi point utama ku sebagai guru, waktu aku menjadi siswa dahulu, aku tidak pernah membuat kopekologi (contekan dengan kertas kecil) ataupun membawa Handphone saat ujian. Akhirnya aku membuat peraturan kelas. 

"Selamat Pagi kelas" Salam ku kepada kelas listrik, saat itu aku menjadi guru pengawas ujian, "pagi pak" Semua bersorak, terdengar ku ucapan salah satu murid yang bernama Parhan "lah, kok Bapak ini yang mengawas" Serunya pelan dengan teman sebelahnya, semua menatapku saat duduk dan mulai mengatur meja guru, ku atur di tengah-tengah meja bagian siswa, aku mulai membuat peraturan "baik, sebelum kita mulai ujian, diharapkan semua Handphone dan tas di kumpulkan kedepan, boleh Handphone di taruh di meja saya atau handphone dimasukkan kedalam tas", pintaku sebelum memulai, ada siswa berbicara dengan sedikit keras " Pak, jangan dikumpulkan handphone ya pak hari ini ujian bahasa Jepang ", pinta siswa itu sementara aku sibuk membuka amplop berisikan soal dan lembar jawaban, "Jika tidak ada mengumpulkan handphone maka ujian tidak saya mulai" Tegas ku sekali lagi, akhirnya tidak ada satupun handphone terkumpul, siswa enggan mengumpulkan jimat pintarnya atau dukun pintarnya kedepan kelas dan di meja guru, aku melihat waktu sudah lewat 10 menit aku tidak mengizinkan mereka mengerjakan soal, sementara absensi kehadiran ujian sudah aku jalankan terlebih dahulu. Waktu terus berjalan hingga 09.15 menit lalu ku bagikan soal ujian, kelas mulai riuh seperti di pasar, ada salah satu siswa bilang "bole liat handphone, liat buku, dll", aku tidak mengiyakan semua permohonannya, aku lihat dan aku berjalan ke sudut ruangan kelas dan berjalan kedepan dan kembali duduk dan bangkit lagi, berjalan lagi, akhirnya tidak ada satupun di lembar jawaban mereka yang siap satu soal pun tidak ada yang siap,  disini pentingnya nilai kejujuran, bertanggung-jawab. 

Aku memutuskan untuk meminta absen ujian segera di kumpul, berkatalah salah satu siswa laki-laki "pak, saya orang Jawa kenapa ada marga saya?" Tanyanya dengan kebingungan, siswa yang lain protes "pak kenapa jenis kelamin saya B (banci) dan semua melihat isi absen itu ternyata sebagian berjenis B", padahal jenis kelamin di isi oleh pengawas ujian atau siswa itu sendiri dan boleh di kosongkan, semua kelas berisik dan ribut saat ujian akhirnya saya pun marah "siapa yang menulis jenis kelamin ini?" Tanya saya dengan memukul meja, tidak satupun ada yang mengaku atas perbuatan itu, malah semua siswa aku lihat tertawa dengan girang, sudah habis kesabaran ku itupun tidak ada yang menjawab seluruh siswa saling menuduh antara satu dan yang lain, aku pun yang kehabisan akal aku meminta panitia ujian untuk datang keruangan tempat aku mengawas ujian, sebelumnya aku sudah mengambil photo sebagai bukti absen mereka lalu mengirimnya ke wali kelas mereka, kedua guru panitia ujian datang dan marah-marah didalam kelas, aku melihat panitia ujian membantuku saat keadaan kelas menjadi runyam dan ribut, kedua panitia ujian akhirnya memutuskan untuk mengumpul lembar jawaban siswa sementara, kedua panitia ujian pun kewalahan saat menghadapi kelas itu, aku mengamati siswa itu di marahi oleh panitia ujian tetap tertawa, bahagia dan aku harus berurusan dengan wali kelasnya, menjelaskan, dan mencari si pelaku penulis lancang itu. Saat wali kelas tiba ke kelas itu, mereka mulai diam dan mendengarkan tetapi tidak satupun siswa mengakui, semua saling melindungi temannya antara satu dan yang lain, ku perhatikan wali kelasnya marah dan menampar siswa yang bertuliskan jenis kelamin B, agar mengakui siapa orangnya, itupun tidak berlaku di kelas itu.  

Akhirnya aku tidak mendapatkan pengakuan siswa itu yang membuat jenis kelamin laki-laki menjadi jenis kelamin B, banci, bencong. Selama aku mengajar di sekolah itu, tidak pernah siswa disekolah itu seperti itu, nekad berbuat sesuka hati, tidak mengikuti aturan, melawan guru, dan tidak memiliki sopan dan santun, semua ucapan guru dibuat mereka hanya lelucon, bualan mereka. Selesai mengawas hari itu, aku pun pulang menuju parkiran guru, aku mendengar suara teriakan murid itu mengatakan "hee... . Bencong" Ketika aku menoleh aku tidak mendapati mulut siapa yang mengatakan itu, karena ada banyak siswa saat itu untuk pulang. Dari cerita ini, kisah ini, aku tidak mendapatkan apa-apa, aku tidak mendapatkan siswa yang menulis huruf B itu, aku juga tidak mendapat suara siapa yang melontarkan kata-kata bencong, kepada siap, tujuannya kemana, karena aku membelakangi mereka dan disitu banyak siswa dari jurusan lain. Pentingnya mengajarkan anak kesopanan dari rumah, menghargai orang lain. Seandainya memukul siswa disekolah guru tidak mendapatkan perlakuan ketidakadilan seperti berita yang beredar di media cetak maupun media televisi, ku pastikan tangan ku ini, kayu itu, sudah memar di badannya sebagai ingatan, tetapi guru tidak mendapatkan haknya untuk itu. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun