Sekolah Ramah Anak, Tapi Anak Tidak Ramah Guru: Mana yang Harus Diutamakan?
Refleksi atas Krisis Etika dan Otoritas dalam Dunia Pendidikan
Program Sekolah Ramah Anak (SRA), yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), serta didukung UNICEF, bertujuan mulia: menciptakan lingkungan belajar yang aman, bersih, sehat, inklusif, dan bebas dari kekerasan. Prinsipnya jelas: setiap anak berhak dilindungi, dihormati, dan diberi ruang untuk tumbuh secara utuh.
Namun, dalam praktiknya, muncul paradoks yang mengkhawatirkan:
Sekolah semakin "ramah" pada anak, tetapi anak justru semakin "tidak ramah" pada guru.
Ketika guru menegur, ia dituduh kejam.
Ketika guru memberi sanksi, ia dilaporkan ke polisi.
Ketika guru meminta tanggung jawab, ia dianggap otoriter.
Pertanyaannya pun mengemuka:
Apakah perlindungan terhadap anak harus mengorbankan martabat dan otoritas guru?
Mana yang lebih penting: hak anak untuk tidak disakiti, atau kewajiban anak untuk menghormati pendidik?
Untuk menjawab ini, mari kita lihat fakta di lapangan.
Kasus-Kasus Nyata: Ketika Anak (dan Orang Tua) Tidak Ramah pada Guru
Berikut adalah rangkuman kasus-kasus nyata di Indonesia dalam 5 tahun terakhir yang menunjukkan sikap tidak hormat, bahkan agresif, dari siswa dan orang tua terhadap guru:
1. Kasus Supriyani: Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (April 2024)