Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka yang Memerdekakan Murid untuk Merendahkan Gurunya?

17 Oktober 2025   07:49 Diperbarui: 19 Oktober 2025   08:22 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Kurikulum Merdeka yang Memerdekakan Murid untuk Merendahkan Gurunya?

Sebuah Ironi di Negeri Sejuta Rumah Doa

Indonesia, negeri yang disebut "sejuta rumah doa", adalah tanah tempat lonceng gereja, azan masjid, dan kidung vihara bergema bersama dalam harmoni. Di tengah keberagaman itu, Gereja Katolik (sebagai bagian dari tubuh Kristus yang universal) terus berusaha menjadi garam dan terang dunia, termasuk dalam dunia pendidikan.

Namun, di tengah semangat pembaruan melalui Kurikulum Merdeka, muncul kekhawatiran mendalam: apakah "kemerdekaan" yang ditawarkan justru melahirkan generasi yang kehilangan rasa hormat, bahkan berani merendahkan guru, figur yang dalam tradisi iman Katolik disebut sebagai pewarta kebenaran dan pelayan pembentukan hati nurani?

Kemerdekaan dalam Terang Iman Katolik

Dalam ajaran Gereja Katolik, kebebasan (libertas) bukanlah kebebasan untuk berbuat semaunya, melainkan kebebasan untuk memilih yang baik, benar, dan indah, yang dalam bahasa Santo Thomas Aquinas disebut libertas a necessitate, kebebasan dari paksaan, namun terarah pada kebaikan tertinggi: Allah.

Dokumen Gaudium et Spes (Sukacita dan Harapan), Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, menegaskan bahwa:

"Kebebasan manusia adalah tanda citra Allah dalam dirinya... namun kebebasan itu harus diarahkan pada kebenaran dan kebaikan, sebab tanpa itu, ia menjadi sumber kekacauan dan dosa." (GS 17)

Dengan demikian, Kurikulum Merdeka, jika dipahami secara utuh, seharusnya membebaskan siswa dari belenggu ketidaktahuan, ketakutan, dan ketergantungan buta, bukan membebaskan mereka dari disiplin, tanggung jawab, dan rasa hormat kepada otoritas yang sah.

Namun, kenyataannya sering berbeda.

Ketika "Murid Berpusat" Menjadi "Murid sebagai Raja"

Salah satu prinsip Kurikulum Merdeka adalah student-centered learning, pembelajaran yang berpusat pada murid. Dalam niat baik, ini berarti menghargai martabat pribadi setiap anak, sesuai dengan ajaran Gereja bahwa setiap manusia adalah citra Allah (imago Dei), yang layak dihormati sejak dalam kandungan hingga akhir hayat (lih. Evangelium Vitae, Yohanes Paulus II).

Namun, ketika prinsip ini dihilangkan dari konteks relasional dan moral, ia berubah menjadi individualisme ekstrem:

Murid tidak boleh dikoreksi keras. Guru tidak boleh menegur dengan tegas. Setiap bentuk otoritas dianggap sebagai penindasan. Kita bisa melihat banyak kasus: guru yang dipukul murid hanya karena menegurnya, orang tua yang melaporkan guru ke polisi karena menertibkan anaknya. Meski tahu anaknya salah tidak boleh ditegur.

Dalam kasus terbaru di Banten, seorang kepala sekolah, yang berusaha menegakkan aturan sekolah terhadap siswa yang merokok dan berbohong, dilaporkan ke polisi dan dinonaktifkan. Yang lebih menyedihkan, murid dan orang tua justru merasa "diperlakukan tidak adil", seolah-olah guru yang bersalah karena berani menegur.

Di sinilah ironi terjadi:

Kemerdekaan yang seharusnya membebaskan murid untuk tumbuh dalam kebenaran, justru membelenggu mereka dalam budaya narsisisme dan ketidakmampuan menerima kritik. 

Guru dalam Perspektif Iman Katolik: Bukan Pelayan, Tapi Pewarta Kebenaran

Dalam tradisi Katolik, guru bukan sekadar pekerja profesi, melainkan panggilan (vocatio). Santo Yohanes Bosco, pelindung para pendidik, mengajarkan bahwa pendidikan sejati lahir dari akal budi, agama, dan kasih sayang.

Lebih jauh, Gereja menghormati guru sebagai penerus para rasul dalam tugas pewartaan, bukan hanya pewartaan Injil secara eksplisit, tetapi juga pewartaan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan keindahan, yang merupakan refleksi dari kebenaran ilahi.

Karena itu, merendahkan guru apalagi dengan tuduhan palsu atau reaksi emosional, bukan hanya pelanggaran etika profesi, tetapi juga penghinaan terhadap martabat panggilan mendidik, yang dalam Kitab Suci disebut sebagai karya yang mulia:

"Hormatilah orang yang mengajar kamu firman Tuhan..." (lih. 1 Tesalonika 5:12-13, dalam semangat penghormatan terhadap para pembimbing rohani dan pendidik).

Yesus sendiri, Sang Guru Agung, tidak pernah ragu menegur murid-murid-Nya ketika mereka salah, bahkan dengan keras:

"Hai kamu yang kurang percaya!" (Matius 8:26)
"Pergilah, Iblis!" (Matius 4:10) 

Tapi teguran-Nya selalu didasari kasih, bertujuan pemulihan, dan mengarah pada pertobatan.

Krisis Otoritas dan Hilangnya "Adab" dalam Budaya Katolik Indonesia

Di tengah masyarakat Indonesia, yang seharusnya kental dengan nilai-nilai adab, hormat kepada yang lebih tua, dan ketaatan pada otoritas yang sah kini muncul gejala mengkhawatirkan: anak-anak Katolik pun ikut dalam arus budaya yang meremehkan guru.

Mengapa? Karena pendidikan iman di rumah dan di paroki sering terpisah dari pendidikan karakter di sekolah. Anak diajak ke Misa, diajarkan doa, tapi di rumah dibiarkan bersikap kasar, tidak disiplin, dan tidak diajarkan untuk menerima konsekuensi atas kesalahan.

Padahal, dalam ajaran sosial Gereja, salah satu prinsip utamanya adalah subsidiaritas: otoritas yang lebih tinggi (seperti guru atau sekolah) harus dihormati selama mereka bertindak demi kebaikan bersama dan pembentukan pribadi yang utuh.

Ketika orang tua, yang seharusnya menjadi "gereja domestik" (ecclesia domestica), justru menjadi pembela buta atas kesalahan anak, maka iman menjadi kosong dari praktik moral.

Menuju Kurikulum Merdeka yang Berakar pada Kebenaran dan Kasih

Kurikulum Merdeka tidak perlu ditolak. Ia bisa menjadi berkat, asal dijiwai oleh nilai-nilai Injil: Pertama, Kemerdekaan harus diarahkan pada kebenaran (Veritas liberabit vos, Yohanes 8:32).

Kedua, Penghormatan terhadap guru adalah bagian dari penghormatan terhadap kebenaran yang diajarkannya.

Ketiga, Disiplin adalah bentuk kasih pastoral, sebagaimana Allah mendisiplinkan anak-anak-Nya yang dikasihi (Ibrani 12:6).

Keempat, Orang tua Katolik harus menjadi mitra sekolah, bukan lawan, dalam membentuk pribadi utuh anak: jiwa, akal budi, dan tubuh.

Penutup: Jangan Biarkan "Merdeka" Mengubur Martabat Pendidik

Di negeri sejuta rumah doa, biarlah sekolah juga menjadi rumah doa bagi kebenaran dan keadilan.
Jangan biarkan semangat "merdeka" dijadikan alasan untuk menghancurkan otoritas moral guru, yang dalam banyak kasus justru berjuang sendirian melawan arus dekadensi moral generasi muda.

Sebagai umat Katolik, kita percaya bahwa setiap panggilan (termasuk menjadi guru) adalah rahmat dari Allah. Dan merendahkan rahmat itu berarti merendahkan Sang Pemberi Rahmat itu sendiri.

Maka, marilah kita doakan para guru:

"Tuhan, lindungilah mereka dari ketakutan, kelelahan, dan ketidakadilan.
Jadikan mereka cermin kasih-Mu yang tegas namun penuh belas kasih.
Dan berilah kami, para orang tua, kerendahan hati untuk mendukung, bukan menghakimi." 

Sebab, tanpa guru yang dihormati, tidak akan ada murid yang bermartabat.
Dan tanpa murid yang bermartabat, tidak akan ada bangsa yang beradab, apalagi bangsa yang beriman.

Referensi:

Gaudium et Spes (Konsili Vatikan II)
Evangelium Vitae (Yohanes Paulus II)
Ajaran Sosial Gereja Katolik (Compendium)
Santo Yohanes Bosco, Sistem Preventif dalam Pendidikan
Kitab Suci: Yohanes 8:32; Ibrani 12:6; 1 Tesalonika 5:12-13

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun