Kelaparan dalam Pena Pastoral  Paus mulai dari Yohanes Paulus II hingga Leo XIV
Setiap 16 Oktober, dunia memperingati Hari Pangan Sedunia. Bukan sekadar hari libur atau acara makan-makan bersama. Ini adalah momen untuk berhenti sejenak dan bertanya: Apakah setiap anak di dunia ini benar-benar memiliki hak atas makanan yang cukup, bergizi, dan layak?
Di balik perayaan global ini, ada sebuah narasi panjang yang dipenuhi dengan kepedulian, kritik, dan harapan dari para pemimpin Gereja Katolik. Dari Paus Yohanes Paulus II hingga Paus Fransiskus, dan kini menuju era baru dengan Paus Leo XIV, ajaran mereka membentuk fondasi moral bagi perjuangan melawan kelaparan.
Dari Paus Yohanes Paulus II: Kelaparan Bukan Kebetulan
Pada tahun 1987, saat dunia masih terjebak dalam konflik dingin dan ketidakadilan ekonomi, Paus Yohanes Paulus II menyampaikan pesan yang tajam:
"Kelaparan bukan karena kurangnya pangan, tapi karena ketidakadilan dalam distribusi."Â
Ia menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya soal produksi, tetapi soal sistem. Di satu sisi, ada negara-negara yang membuang makanan secara besar-besaran. Di sisi lain, jutaan anak-anak kelaparan karena tidak bisa mengakses apa yang sudah tersedia. Ia mengingatkan kita bahwa makanan adalah hak dasar, bukan hadiah dari belas kasihan.
Paus Benediktus XVI: Kasih Harus Disertai Kebenaran
Kemudian datang Paus Benediktus XVI. Ia menambahkan lapisan kedalaman spiritual:
"Kasih tanpa kebenaran menjadi sentimentalisme buta. Kebenaran tanpa kasih menjadi dingin dan tidak manusiawi."Â
Ini adalah kritik yang sangat relevan dengan isu program bantuan pangan yang salah sasaran. Bayangkan: seorang anak yang sudah makan nasi dengan lauk lengkap tiap hari, diberi tambahan makanan gratis, sedangkan anak lain yang hidup di pinggiran kota, yang makan nasi putih dengan sedikit sayur, tidak mendapat bantuan sama sekali. Apakah itu kasih? Ataukah itu kejahatan yang disamarkan sebagai kebaikan?
Benediktus menekankan bahwa keadilan harus dimulai dari kebenaran. Program pangan harus akurat, transparan, dan berbasis pada realitas sosial yang sebenarnya.
Paus Fransiskus: Ekologi Integral dan Kritik Terhadap Budaya Buang
Paus Fransiskus, yang menjabat sejak 2013, membawa revolusi dalam wawasan tentang pangan. Dalam ensiklik Laudato Si' (2015), ia menyatakan:
"Sementara sebagian dunia membuang makanan, bagian lain kelaparan. Ini bukan hanya ketidakadilan, ini adalah kejahatan."Â
Ia tidak hanya menyalahkan sistem pangan, tetapi juga menghubungkannya dengan perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan ketidakadilan global. Ketika petani kecil di Afrika dibuang dari tanah mereka demi perkebunan kelapa sawit, maka makanan yang mereka hasilkan tidak lagi menjadi solusi, melainkan bagian dari masalah.
Fransiskus juga menyerukan "budaya perjumpaan", di mana kebijakan dibuat dengan melibatkan orang-orang yang terpinggirkan, bukan hanya oleh birokrat.
Paus Leo XIV: Masa Depan yang Berubah
Dan sekarang, kita berada di ambang masa depan baru. Di situs resmi Vatikan, terdapat halaman khusus untuk Paus Leo XIV, yang menjabat sejak 8 Mei 2025.Â
Meskipun baru menjabat, namanya sendiri sudah memberi tanda: pangan adalah isu global. Amerika Serikat, negara penghasil makanan terbesar, juga negara dengan tingkat limbah makanan tertinggi. Dan siapa yang akan memimpin? Seorang pemimpin dari benua yang menjadi pusat konsumsi berlebihan, tapi juga tempat banyak gerakan perubahan.
Dengan nama "Leo", ia membawa warisan dari Paus Leo XIII (1878-1903), yang juga menekankan keadilan sosial. Namun, Leo XIV akan menghadapi tantangan yang lebih kompleks: pangan, iklim, dan teknologi.
Refleksi: Apa Artinya Hari Pangan Sedunia di Tengah Kegagalan Sistem?
Hari Pangan Sedunia bukanlah hari untuk merayakan keberhasilan semu. Ini adalah hari untuk meminta pertanggungjawaban.
Jika program seperti MGB (yang seharusnya membantu anak miskin) malah memberi manfaat kepada anak yang sudah cukup, maka kita telah gagal. Kita telah menyalahgunakan simbol kebaikan untuk tujuan pencitraan.
Tapi di sinilah ajaran para Paus menjadi penting. Mereka mengingatkan kita bahwa:
Makanan bukan komoditas, tapi hak asasi manusia. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran, bukan pada kesan baik. Kita semua punya tanggung jawab, termasuk dalam sistem pangan yang sering kali tersembunyi di balik aturan administratif.
Kesimpulan: Pangan, Kemanusiaan, dan Kepemimpinan yang Nyata
Dari Yohanes Paulus II hingga Leo XIV, Gereja Katolik terus mengingatkan kita bahwa setiap suap makanan harus menjadi ekspresi keadilan, bukan sekadar program.
Hari Pangan Sedunia bukan sekadar hari untuk makan, tetapi hari untuk bertanya: Apakah saya, sebagai warga dunia, peduli pada mereka yang tidak bisa makan? Apakah saya siap mengubah sistem yang membuat mereka terpinggirkan?
Karena jika tidak, maka kita hanya mengeksekusi proyek-proyek yang kosong makna dan kehilangan jiwa dari perjuangan yang sebenarnya.
"Bukan siapa yang berkata 'Tuhan, Tuhan', tetapi siapa yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surga."Â (Matius 7:21)Â Dan kehendak Bapa adalah: tidak seorang pun kelaparan apalagi dilupakan dalam nama kebaikan.
Mari kita mulai dari hari ini. Mari kita ubah sistem pangan agar benar-benar adil. Karena pangan bukan hanya tentang makan, tapi tentang martabat manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI