Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apakah Guru Harus DIAM Saja? Ia Cukup Jadi PENGAJAR, bukan PENDIDIK

15 Oktober 2025   17:28 Diperbarui: 15 Oktober 2025   17:28 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Apakah Guru Harus Diam Saja? Ia Cukup Jadi Pengajar, Bukan Pendidik?

Wahai Orang Tua, Didiklah Anakmu Sendiri Jika Tak Mau Didisiplinkan di Sekolah

Di sebuah sekolah menengah di Lebak, Banten, seorang kepala sekolah perempuan dilaporkan ke polisi karena menampar seorang siswa yang kedapatan merokok dan berbohong saat ditegur. Aksi spontan itu (yang oleh pelaku disebut sebagai "tepukan pelan di punggung") berujung pada penonaktifan sementara sang kepala sekolah, mogok massal ratusan siswa, dan perdebatan sengit di ruang publik: Apakah guru masih boleh mendisiplinkan murid?

Pertanyaan ini bukan baru. Tapi intensitasnya kian meningkat seiring dengan maraknya kasus pelaporan guru oleh orang tua atas tindakan disiplin yang dianggap "kekerasan". Di balik kemarahan orang tua, muncul narasi yang mengkhawatirkan: "Guru itu cukup mengajar, jangan mendidik." Seolah-olah tugas guru hanya mentransfer ilmu, bukan membentuk karakter.

Namun, apakah benar demikian?

Guru Bukan Mesin Fotokopi Ilmu

Pasal 1 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Dengan kata lain, mendidik bukan pilihan, itu kewajiban. Dan mendidik tidak mungkin terjadi tanpa disiplin. Tanpa batas. Tanpa konsekuensi atas pelanggaran.

Guru bukan sekadar pengajar (instructor), melainkan juga pendidik (educator). Ia adalah "orang tua kedua" yang membimbing, menegur, dan kadang (dalam batas yang wajar) memberi sanksi ketika aturan dilanggar. Jika guru hanya boleh mengajar dan tidak boleh mendidik, maka sekolah akan berubah menjadi pasar ilmu: murid datang, ambil materi, lalu pergi, tanpa tanggung jawab, tanpa nilai, tanpa karakter.

Ketika Orang Tua Menolak Disiplin Sekolah

Ironisnya, di saat yang sama, banyak orang tua mengeluh:

"Anak saya tidak disiplin!"
"Gurunya tidak tegas!"
"Sekolah tidak bisa mengatur murid-muridnya!"

Namun, begitu guru mengambil tindakan (sekecil apa pun) mereka langsung bereaksi:

"Jangan sentuh anak saya!"
"Itu kekerasan!"
"Saya laporkan ke polisi!"

Ini adalah paradoks yang merusak fondasi pendidikan.

Jika Anda, wahai orang tua, tidak ingin anak Anda didisiplinkan di sekolah, maka pertanyaannya sederhana: Siapa yang akan mendidiknya?

Apakah Anda siap mengambil alih seluruh tanggung jawab itu di rumah?
Apakah Anda konsisten menegakkan aturan, memberi konsekuensi logis, dan mengajarkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap otoritas?

Jika tidak, jangan salahkan guru ketika ia mencoba mengisi kekosongan itu, meski caranya belum sempurna.

Masalah: Disiplin vs. Kekerasan

Masalah utama bukan pada keberadaan disiplin, melainkan pada batas yang kabur antara disiplin dan kekerasan. Di sinilah peran regulasi dan komunikasi menjadi krusial.

Permendikbud No. 82 Tahun 2015 secara tegas melarang segala bentuk kekerasan fisik dan psikis di lingkungan sekolah. Tapi di sisi lain, Permendikbud No. 10 Tahun 2017 menjamin perlindungan bagi guru dalam menjalankan tugas profesionalnya, termasuk memberikan sanksi sesuai kaidah pendidikan.

Namun, tidak ada aturan yang efektif tanpa kesepahaman bersama.

Banyak konflik lahir bukan karena niat jahat guru, tapi karena tidak adanya kesepakatan awal antara sekolah dan orang tua tentang: Apa saja pelanggaran disiplin? Apa sanksi yang berlaku? Bagaimana prosedur penanganannya?

Tanpa itu, setiap tindakan guru (sekecil apa pun) bisa dianggap sebagai serangan.

Solusi: Kolaborasi, Bukan Konfrontasi

Alih-alih melapor ke polisi, mari kita kembalikan pendidikan ke ruang dialog. Berikut usulan konkret:

Pertama, Sekolah Harus Transparan dan Partisipatif. Setiap sekolah wajib memiliki Tata Tertib Siswa yang disusun bersama komite sekolah dan orang tua. Aturan harus jelas, proporsional, dan disosialisasikan sejak awal tahun ajaran. Sanksi harus berjenjang, mulai dari teguran lisan, surat peringatan, hingga skorsing, bukan hukuman fisik.

Kedua, Orang Tua Harus Terlibat Aktif. Jangan hanya datang saat anak bermasalah. Hadirlah dalam pertemuan orang tua, diskusikan nilai-nilai yang ingin ditanamkan, dan dukung guru dalam menegakkan aturan. Jika Anda tidak percaya pada metode sekolah, carilah sekolah lain, jangan merusak sistem dari dalam.

Ketiga, Guru Perlu Diberi Pelatihan & Perlindungan. Guru harus dilatih dalam disiplin positif dan manajemen konflik non-kekerasan. Di saat yang sama, negara harus memberi perlindungan hukum nyata, bukan hanya di atas kertas, ketika guru bertindak dalam koridor profesional.

Keempat, Gunakan Restorative Justice, Bukan Jalur Pidana. Kasus disiplin harus diselesaikan melalui mediasi, bukan kriminalisasi. Kapolri dan Kemendikbud sudah sepakat menerapkan pendekatan restorative justice. Mari dukung ini, bukan justru memperkeruh suasana dengan ancaman pidana.

Penutup: Pendidikan Butuh Kemitraan

Guru tidak bisa bekerja sendiri.
Orang tua tidak bisa lepas tangan.
Sekolah bukan penjara, tapi juga bukan taman bermain tanpa aturan.

Jika Anda tidak ingin anak Anda didisiplinkan di sekolah, maka didiklah dia sendiri di rumah, dengan konsisten, tegas, dan penuh kasih. Tapi jika Anda menyerahkan anak ke sekolah, maka percayakan juga proses pembentukan karakternya kepada para pendidik.

Jangan biarkan guru terjebak dalam dilema:

"Jika saya diam, saya dianggap tidak peduli.
Jika saya bertindak, saya dianggap pelaku kekerasan."

Kita butuh guru yang berani mendidik, bukan hanya mengajar.
Dan untuk itu, kita butuh orang tua yang mau bekerja sama, bukan menyerang.

Referensi:

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kekerasan di Sekolah
Kesepakatan Kemendikbud & Kapolri (2024) tentang Restorative Justice
Kasus SMAN 1 Cimarga, Lebak (Oktober 2025)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun