"Jangan sentuh anak saya!"
"Itu kekerasan!"
"Saya laporkan ke polisi!"
Ini adalah paradoks yang merusak fondasi pendidikan.
Jika Anda, wahai orang tua, tidak ingin anak Anda didisiplinkan di sekolah, maka pertanyaannya sederhana: Siapa yang akan mendidiknya?
Apakah Anda siap mengambil alih seluruh tanggung jawab itu di rumah?
Apakah Anda konsisten menegakkan aturan, memberi konsekuensi logis, dan mengajarkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap otoritas?
Jika tidak, jangan salahkan guru ketika ia mencoba mengisi kekosongan itu, meski caranya belum sempurna.
Masalah: Disiplin vs. Kekerasan
Masalah utama bukan pada keberadaan disiplin, melainkan pada batas yang kabur antara disiplin dan kekerasan. Di sinilah peran regulasi dan komunikasi menjadi krusial.
Permendikbud No. 82 Tahun 2015 secara tegas melarang segala bentuk kekerasan fisik dan psikis di lingkungan sekolah. Tapi di sisi lain, Permendikbud No. 10 Tahun 2017 menjamin perlindungan bagi guru dalam menjalankan tugas profesionalnya, termasuk memberikan sanksi sesuai kaidah pendidikan.
Namun, tidak ada aturan yang efektif tanpa kesepahaman bersama.
Banyak konflik lahir bukan karena niat jahat guru, tapi karena tidak adanya kesepakatan awal antara sekolah dan orang tua tentang: Apa saja pelanggaran disiplin? Apa sanksi yang berlaku? Bagaimana prosedur penanganannya?
Tanpa itu, setiap tindakan guru (sekecil apa pun) bisa dianggap sebagai serangan.
Solusi: Kolaborasi, Bukan Konfrontasi
Alih-alih melapor ke polisi, mari kita kembalikan pendidikan ke ruang dialog. Berikut usulan konkret: