Dalam diam, rakyat menyaksikan semua ini. Mereka melihat bagaimana lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan justru diisi oleh orang-orang yang kredibilitasnya dibangun di atas likes, retweet, dan komentar penuh semangat di dunia maya. Mereka tahu: ini bukan reformasi. Ini adalah rewards system bagi para tukang sorak.
Dan ketika suatu hari lembaga itu gagal melindungi hak warga, gagal mengawasi penyalahgunaan anggaran, atau diam saat keadilan dipermainkan, jangan heran. Karena komisarisnya bukan dipilih karena mampu mengawasi, tapi karena pernah pandai memuji.
Di sinilah demokrasi mulai kehilangan jiwanya: bukan karena rakyat berhenti memilih, tapi karena mereka tahu, semua jabatan strategis sudah dibagi-bagikan sebelum pemilu usai, kepada mereka yang suaranya paling manis di telinga penguasa, bukan yang paling tulus di hati rakyat.
Maka, marilah kita bertanya: Apakah kita masih punya lembaga publik atau hanya panggung bagi para penjilat yang kini bergelar "komisaris"?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI