Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kopi Tumbuk, Kopi Sachet, dan Jiwa Masyarakat Modern

7 Oktober 2025   20:52 Diperbarui: 7 Oktober 2025   21:27 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sinilah letak paradoksnya: kopi sachet bisa jadi lebih “asli” secara bahan, tapi justru lebih “asing” secara relasi.

***

Kopi, sejak abad ke-15, bukan sekadar stimulan. Ia adalah ruang sosial, tempat ide bertemu, revolusi direncanakan, dan identitas dibentuk.

Di kedai kopi Eropa abad ke-17, para filsuf dan warga biasa berdiskusi tanpa hierarki, kopi menjadi penyetara.

Di Yaman, kopi dikonsumsi dalam ritual sufi sebagai jalan menuju kesadaran spiritual.

Di Nusantara, kopi adalah bagian dari selamatan, simbol kerukunan dan kebersamaan.

Seperti ditulis sosiolog Prancis Pierre Bourdieu, kopi (seperti makanan dan minuman lain) adalah medan praktik budaya tempat kelas sosial, selera, dan kekuasaan saling bertarung dan dinyatakan (Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, 1984).

Cara seseorang meminum kopi, memilih biji, bahkan cara ia mengaduknya, adalah ekspresi dari habitus: struktur mental yang dibentuk oleh latar belakang sosialnya.

Namun, di era kapitalisme lanjut, kopi mengalami komodifikasi radikal. Ia tak lagi menjadi medium pertemuan, tapi produk konsumsi instan dan di sinilah sachet masuk sebagai simbol sempurna dari zaman kita.

Sachet kopi bukan hanya inovasi teknis; ia adalah manifestasi psikologis masyarakat postmodern. Psikolog sosial Sherry Turkle, dalam bukunya Alone Together (2011), menggambarkan bagaimana teknologi dan desain konsumsi modern menciptakan ilusi koneksi tanpa kehadiran nyata.

Sachet kopi adalah metafora hidup ini: semua rasa, tanpa proses. Ia menjanjikan "pengalaman kopi" tanpa menuntut waktu, perhatian, atau relasi dengan asal-usulnya. Kita "memiliki" kopi, tapi tidak benar-benar mengalaminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun