Di sinilah letak paradoksnya: kopi sachet bisa jadi lebih “asli” secara bahan, tapi justru lebih “asing” secara relasi.
***
Kopi, sejak abad ke-15, bukan sekadar stimulan. Ia adalah ruang sosial, tempat ide bertemu, revolusi direncanakan, dan identitas dibentuk.
Di kedai kopi Eropa abad ke-17, para filsuf dan warga biasa berdiskusi tanpa hierarki, kopi menjadi penyetara.
Di Yaman, kopi dikonsumsi dalam ritual sufi sebagai jalan menuju kesadaran spiritual.
Di Nusantara, kopi adalah bagian dari selamatan, simbol kerukunan dan kebersamaan.
Seperti ditulis sosiolog Prancis Pierre Bourdieu, kopi (seperti makanan dan minuman lain) adalah medan praktik budaya tempat kelas sosial, selera, dan kekuasaan saling bertarung dan dinyatakan (Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, 1984).
Cara seseorang meminum kopi, memilih biji, bahkan cara ia mengaduknya, adalah ekspresi dari habitus: struktur mental yang dibentuk oleh latar belakang sosialnya.
Namun, di era kapitalisme lanjut, kopi mengalami komodifikasi radikal. Ia tak lagi menjadi medium pertemuan, tapi produk konsumsi instan dan di sinilah sachet masuk sebagai simbol sempurna dari zaman kita.
Sachet kopi bukan hanya inovasi teknis; ia adalah manifestasi psikologis masyarakat postmodern. Psikolog sosial Sherry Turkle, dalam bukunya Alone Together (2011), menggambarkan bagaimana teknologi dan desain konsumsi modern menciptakan ilusi koneksi tanpa kehadiran nyata.
Sachet kopi adalah metafora hidup ini: semua rasa, tanpa proses. Ia menjanjikan "pengalaman kopi" tanpa menuntut waktu, perhatian, atau relasi dengan asal-usulnya. Kita "memiliki" kopi, tapi tidak benar-benar mengalaminya.