Menurut OECD (2021), negara seperti Selandia Baru dan Finlandia, yang menerapkan komunikasi terbuka dan dialog aktif dengan masyarakat, memiliki tingkat kepercayaan publik di atas 70%, jauh lebih tinggi dibandingkan negara dengan komunikasi sepihak.
Studi dari Pew Research Center (2020) menunjukkan bahwa masyarakat yang dilibatkan dalam diskusi kebijakan cenderung 40% lebih mendukung keputusan pemerintah, bahkan jika keputusan itu kontroversial.
Manfaat komunikasi dua arah jelas. Pertama, Meningkatkan Kepercayaan. Dalam komunikasi dua arah, masyarakat tidak hanya menerima informasi dari pemerintah atau pejabat publik, tetapi juga diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat, pertanyaan, atau kekhawatiran mereka. Ketika suara mereka didengar dan dihargai, rasa percaya terhadap pihak yang berkomunikasi akan meningkat.
Mereka merasa bahwa pemerintah atau pemimpin benar-benar peduli dan terbuka terhadap aspirasi mereka. Hal ini menciptakan hubungan yang lebih harmonis dan saling percaya, yang sangat penting untuk keberlangsungan kebijakan dan stabilitas sosial. Contoh: Saat pemerintah mengadakan forum dialog masyarakat tentang pembangunan infrastruktur, mereka tidak hanya menyampaikan rencana, tetapi juga mendengarkan masukan dan kekhawatiran warga. Respon positif dari masyarakat memperkuat kepercayaan mereka terhadap pemerintah.
Kedua, Mengurangi Salah Paham. Dalam komunikasi satu arah, sering kali terjadi salah pengertian karena pesan yang disampaikan tidak disertai kesempatan untuk klarifikasi. Sebaliknya, komunikasi dua arah memungkinkan adanya dialog langsung, sehingga pihak-pihak yang terlibat dapat bertukar penjelasan, memperjelas maksud, dan mengatasi ketidakjelasan.
Dengan demikian, potensi salah paham yang bisa menimbulkan konflik, ketidakpuasan, atau persepsi yang salah terhadap kebijakan dapat diminimalisir. Contoh: Kalau ada ketidaksepahaman tentang kebijakan kenaikan harga bahan bakar, dialog langsung antara pemerintah dan masyarakat dapat membantu menjelaskan alasan ekonomi dan manfaat jangka panjang, mengurangi kekhawatiran dan resistensi.
Ketiga, Memperkuat Legitimasi. Kebijakan yang dibangun dengan melibatkan masyarakat melalui komunikasi dua arah cenderung dianggap lebih sah dan berwibawa. Ketika masyarakat merasa mereka turut serta dalam proses pengambilan keputusan, mereka lebih cenderung menerima dan mendukung kebijakan tersebut.
Hal ini karena kebijakan tersebut memiliki dasar partisipasi dan legitimasi yang kuat, bukan sekadar keputusan sepihak dari pejabat tanpa memperhatikan suara rakyat. Contoh: Program pembangunan desa yang melibatkan warga dalam perencanaan dan pengambilan keputusan akan mendapatkan dukungan lebih besar karena masyarakat merasa memiliki andil dan tanggung jawab terhadap keberhasilannya. Ini juga meningkatkan rasa memiliki terhadap hasil akhir.
Relevansi di Era Digital
Di era media sosial, di mana informasi (dan disinformasi) berkembang cepat, komunikasi satu arah atau sugar coating bisa menjadi bumerang. Selama pandemi, misalnya, ketidakjelasan data resmi memicu gelombang hoaks di platform seperti X, Tiktok, yang memperburuk kebingungan masyarakat. Menurut laporan Reuters Institute (2023), 55% hoaks terkait pandemi berasal dari kurangnya transparansi komunikasi pemerintah.
Jangan sampai kebiasaan seperti ini terus dibiarkan subur, padahal rakyat sekarang sangat pintar menyimpan jejak digital yang sulit dibantah di kemudian hari. Saatnya pejabat mulai melakukan perbaikan cara berkomunikasi. Jika ada perbedaan selesaikan secara internal, toh duduk di kabinet yang sama.
Kesimpulan: Transparansi adalah Investasi
Komunikasi dua arah bukan sekadar alat, tetapi fondasi untuk kebijakan publik yang kuat. Ketika pejabat memilih berdialog, mendengar, dan menyampaikan fakta tanpa polesan, mereka tidak hanya menyelesaikan konflik data, tetapi juga membangun kepercayaan yang kokoh. Sebaliknya, komunikasi sepihak atau sugar coating hanya menciptakan kabut ketidakpastian yang merugikan semua pihak.