Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

[perspektiflain] Mengapa Komunikasi Dua Arah Jadi Kunci Kebijakan Publik?

4 Oktober 2025   11:51 Diperbarui: 4 Oktober 2025   11:51 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Mengapa Komunikasi Dua Arah Jadi Kunci Kebijakan Publik: Membongkar Bahaya Sugar Coating dari Sudut Pandang Psikologi

Polemik tentang perbedaan data harga LPG 3 kg antara Menteri Keuangan Purbaya dan Menteri ESDM Bahlil menarik perhatian saya untuk mengkajinya dari perspektif psikologi komunikasi. Mengapa masih terjadi para menteri yang duduk dalam kabinet yang sama sering berpolemik pada satu kasus yang sama dengan mementingkan sudut pandang kementeriannya, padahal mereka bisa duduk bersama selesaikan perbedaan sebelum "meramaikannya" di depan publik.

**

Dua menteri dalam satu kabinet berselisih soal data penting. Alih-alih duduk bersama dan menyamakan persepsi, publik hanya disuguhi pernyataan formal, kaku, dan sepihak. Hasilnya? Kebingungan, ketidakpercayaan, dan tanda tanya besar di benak masyarakat. Mengapa komunikasi dua arah begitu krusial dalam kebijakan publik? Dan apa bahaya di balik sugar coating yang kerap menyembunyikan kebenaran? Mari kita selami dari perspektif psikologi, didukung fakta dan data yang bisa dipercaya.

Komunikasi: Jembatan atau Tembok?

Komunikasi dalam pemerintahan bukan sekadar menyampaikan angka atau keputusan. Ia adalah jembatan emosional dan intelektual antara pemerintah dan rakyat. Ketika dua menteri berselisih soal data misalnya, jumlah kasus pandemi atau harga bahan bakar, idealnya mereka duduk bersama, menjernihkan perbedaan, dan menyusun narasi yang jelas. Sayangnya, kenyataan sering kali menunjukkan komunikasi satu arah: pemerintah bicara, rakyat mendengar, tanpa ruang untuk bertanya.

Pendekatan ini mungkin terasa aman bagi pejabat, tetapi dari sudut psikologi, dampaknya bisa merusak: Pertama, Ketidakpercayaan Publik. Ketika masyarakat hanya menerima informasi tanpa ruang untuk berdialog, mereka cenderung skeptis. Studi dari Edelman Trust Barometer (2023) menunjukkan bahwa 63% masyarakat global meragukan informasi dari pemerintah jika tidak ada transparansi atau keterlibatan.

Kedua, Alienasi Masyarakat. Tanpa dialog, publik merasa seperti penonton, bukan bagian dari proses. Ini menurunkan partisipasi dan rasa tanggung jawab bersama.

Ketiga, Kesenjangan Persepsi. Data yang disampaikan sepihak sering kali berbeda dengan realitas di lapangan. Misalnya, pada 2018, pemerintah Indonesia menyatakan harga BBM stabil, tetapi masyarakat merasakan kenaikan harga yang signifikan. Kesenjangan ini memicu ketidakpuasan.

Bahaya Sugar Coating: Manis Sesaat, Pahit Berkepanjangan

Pernahkah Anda mendengar pernyataan pemerintah yang terdengar terlalu "manis"? Inilah yang disebut sugar coating, menyampaikan informasi dengan cara yang dihaluskan untuk menghindari kritik atau kepanikan. Contohnya, selama pandemi COVID-19, beberapa pemerintah di dunia menyampaikan data kasus yang tampak terkendali, padahal situasi lapangan jauh lebih buruk. Hasilnya? Masyarakat kehilangan kepercayaan.

Dari perspektif psikologi, sugar coating memang bisa meredakan ketegangan sementara. Namun, menurut psikolog komunikasi Dr. Robert Cialdini, menyembunyikan fakta atau memoles informasi justru meningkatkan kecurigaan publik. Laporan World Bank (2022) juga menunjukkan bahwa negara dengan transparansi rendah, seperti yang menggunakan sugar coating berlebihan, cenderung mengalami penurunan kepercayaan publik hingga 30% dalam dua tahun.

Solusi: Duduk Bersama, Berdialog, dan Transparan

Bayangkan jika dua menteri yang berselisih itu memilih duduk bersama, menyamakan data, dan menyampaikan fakta secara terbuka kepada publik. Ini bukan sekadar soal data yang benar, tetapi tentang membangun kepercayaan. Komunikasi dua arah, di mana pemerintah tidak hanya berbicara, tetapi juga mendengar adalah kuncinya.Data mendukung pendekatan ini:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun