Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

[maljum] Neraka Yang Berjalan Di Atas Tanah

2 Oktober 2025   20:57 Diperbarui: 2 Oktober 2025   20:57 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

"Mereka datang untuk cucu Wijok," bisik dukun desa sambil menunjuk langit. Di sana, awan berbentuk angka 65 menghitam.

3 Hari Sebelum Kelahiran

Sari (istri Aguspras) tak lagi bicara. Ia hanya duduk di ranjang, memeluk perutnya yang membesar, sementara suara jeritan 1.000 orang terdengar dari dalam kandungannya. Dokter bilang janinnya tidak punya denyut jantung. Tapi Agus tahu, itu bukan janin. Malam tadi, ia melihat Sari berdiri di balkon, perutnya menggelembung seperti dipenuhi ulat, sementara tangan-tangan kurus menjulur dari dalam rahimnya, memegang tali tambang.

"Mereka ingin keluar... mereka ingin melihat wajah kakeknya yang korup," bisik Sari sambil tertawa histeris, giginya berlumuran tanah.

Di desa, pohon beringin tiba-tiba berbunga darah. Warga menemukan nisan kayu bertuliskan nama Agus di bawah akarnya, nisan yang belum dikuburkan.

Hari Kelahiran

Rumah sakit sepi. Lampu berkedip-kedip seperti detak jantung orang sekarat. Saat Sari mengejan, seluruh perawat pingsan, wajah mereka berubah menjadi mayat membiru dengan leher tergorok. Agus sendirian di ruang bersalin.

"Dor! Dor! Dor!"
Suara tembakan menggema. Di sudut ruangan, puluhan pocong berbaris, tangan mereka terborgol dari kawat berduri. Mereka mengangkat kepala Sari, memaksa mulutnya menganga lebar.

"Lahirkan kutukan ini... lahirkan darah kami!"

Sari menjerit. Dari dalam rahimnya, tangan hitam berlumuran tanah mencuat, mencengkeram udara. Bayi itu lahir, tanpa kulit, hanya daging merah berdenyut, matanya dua lubang hitam yang mengeluarkan cairan seperti lumpur Lubang Buaya.

Dan di telinga Agus, suara itu berbisik:
"Kami rela mati demi NKRI... tapi kau? Kau rela korupsi demi uang? Sekarang... lihatlah cucumu. Ia akan tumbuh dengan jiwa kami di setiap sel tubuhnya. Setiap kali ia bernapas, ia akan mengingatkanmu: kau takkan pernah selamat."

Saat Ini: Di Bawah Pohon Beringin

Agus duduk di kursi goyang, memeluk bayi yang tak pernah menangis. Di luar jendela, hujan darah menghujam Jakarta. Bayi itu menatapnya, mulutnya perlahan terbuka, tali tambang melilit lidahnya, berderit seperti suara orang digantung.

"Kakek... kapan kau akan mati seperti kami?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun