"Mereka datang untuk cucu Wijok," bisik dukun desa sambil menunjuk langit. Di sana, awan berbentuk angka 65 menghitam.
3 Hari Sebelum Kelahiran
Sari (istri Aguspras) tak lagi bicara. Ia hanya duduk di ranjang, memeluk perutnya yang membesar, sementara suara jeritan 1.000 orang terdengar dari dalam kandungannya. Dokter bilang janinnya tidak punya denyut jantung. Tapi Agus tahu, itu bukan janin. Malam tadi, ia melihat Sari berdiri di balkon, perutnya menggelembung seperti dipenuhi ulat, sementara tangan-tangan kurus menjulur dari dalam rahimnya, memegang tali tambang.
"Mereka ingin keluar... mereka ingin melihat wajah kakeknya yang korup," bisik Sari sambil tertawa histeris, giginya berlumuran tanah.
Di desa, pohon beringin tiba-tiba berbunga darah. Warga menemukan nisan kayu bertuliskan nama Agus di bawah akarnya, nisan yang belum dikuburkan.
Hari Kelahiran
Rumah sakit sepi. Lampu berkedip-kedip seperti detak jantung orang sekarat. Saat Sari mengejan, seluruh perawat pingsan, wajah mereka berubah menjadi mayat membiru dengan leher tergorok. Agus sendirian di ruang bersalin.
"Dor! Dor! Dor!"
Suara tembakan menggema. Di sudut ruangan, puluhan pocong berbaris, tangan mereka terborgol dari kawat berduri. Mereka mengangkat kepala Sari, memaksa mulutnya menganga lebar.
"Lahirkan kutukan ini... lahirkan darah kami!"
Sari menjerit. Dari dalam rahimnya, tangan hitam berlumuran tanah mencuat, mencengkeram udara. Bayi itu lahir, tanpa kulit, hanya daging merah berdenyut, matanya dua lubang hitam yang mengeluarkan cairan seperti lumpur Lubang Buaya.
Dan di telinga Agus, suara itu berbisik:
"Kami rela mati demi NKRI... tapi kau? Kau rela korupsi demi uang? Sekarang... lihatlah cucumu. Ia akan tumbuh dengan jiwa kami di setiap sel tubuhnya. Setiap kali ia bernapas, ia akan mengingatkanmu: kau takkan pernah selamat."
Saat Ini: Di Bawah Pohon Beringin
Agus duduk di kursi goyang, memeluk bayi yang tak pernah menangis. Di luar jendela, hujan darah menghujam Jakarta. Bayi itu menatapnya, mulutnya perlahan terbuka, tali tambang melilit lidahnya, berderit seperti suara orang digantung.
"Kakek... kapan kau akan mati seperti kami?"