Tiba-tiba, Agus terbangun di bawah pohon beringin di desa. Ia melihat kakeknya, Pak Wijok, berdiri di sana, wajahnya hancur, lehernya tergantung di dahan. "Mereka membawaku ke sini setiap malam," rintih Pak Wijok, tubuhnya dipenuhi cacing. "Mereka menggali kuburanku... tapi tak pernah menguburkanku."
Di tanah, ribuan tangan mayat mencuat dari lubang, meraih kaki Agus. "Kau berikutnya," desis mereka.
Agus berlari ke mobil. Di jalan pulang, pohon-pohon di sepanjang jalan berubah menjadi pocong hidup, tangan mereka memegang kuitansi korupsi yang ia sembunyikan.
Catatan Akhir Yang Tak Pernah Selesai
"Mereka yang dibunuh paksa takkan pernah tenang.
Mereka yang korupsi takkan pernah mati.
Karena neraka adalah ketakutan yang tak berujung...
Dan kau, wahai pejabat,
kau adalah neraka itu sendiri."
(Cermin di rumah Agus kini selalu berlumuran darah. Tapi jika kau usap, tulisannya berubah:
"KAMU BERIKUTNYA.")
Malam Ini
Di Jakarta, seorang pejabat baru menandatangani cek korupsi dana bansos. Di kejauhan, langkah kaki basah mendekati rumahnya. Pintu berderit pelan, membuka sendiri.
Di dalam kegelapan, sesuatu menunggu
mata-mata kosong yang tak pernah berkedip,
tangan-tangan dingin yang siap mencengkeram,
dan suara bayi yang belum lahir berbisik:
"Aku takut lahir... tapi kau lebih takut mati."
Malam masih panjang.
Jeritan masih bergema.
Dan jiwa-jiwa itu...
mereka belum selesai.
(Di bawah pohon beringin, angin berhenti.
Daun-daunnya berbisik:
"Siapa lagi yang akan kami kunjungi?")
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI