Doa di Balik Dinding Batu
Spanyol, tahun 1487. Musim gugur datang lebih awal di pegunungan Sierra Morena, membawa kabut tebal yang menyelimuti Biara Santa Clara seperti selimut abadi. Di balik tembok batu yang retak dan jendela kecil berjeruji, seorang gadis muda bernama Isabel duduk bersimpuh di lantai dingin kapel kecil. Usianya baru tujuh belas, tapi matanya (gelap seperti malam Andalusia) menyimpan beban yang biasanya hanya dipikul oleh para biarawati tua.
Isabel bukan biarawati resmi. Ia adalah donada, seorang gadis yang "dipersembahkan" oleh keluarganya kepada biara sejak kecil, sebagai tebusan atas dosa ayahnya yang dituduh menyembunyikan seorang converso (Yahudi yang masuk Kristen). Keluarganya dari keluarga bangsawan kecil, cukup berpengaruh untuk menghindari hukuman mati, tapi tidak cukup kuat untuk melindungi putri bungsunya dari nasib terkunci selamanya di biara ini.
Ia tidak pernah memprotes. Sejak kecil, Isabel merasakan panggilan aneh: bukan untuk menjadi istri bangsawan atau biarawati yang terkenal, tapi untuk menjadi doa itu sendiri. Ia percaya bahwa di balik dinding batu yang memenjarakannya, jiwanya bisa terbang lebih jauh daripada kuda perang para ksatria.
Namun, biara ini bukan tempat damai. Abad ke-15 di Spanyol adalah masa Inkuisisi Suci yang kejam. Setiap desas-desus tentang "darah kotor" atau "iman palsu" bisa membakar desa. Biara Santa Clara, meski terpencil, tidak luput dari bayangan itu. Pemimpin biara, Madre Leonor, adalah perempuan keras yang percaya bahwa kesucian harus dijaga dengan ketakutan, bukan kasih.
"Kau terlalu sering menatap langit, Isabel," hardiknya suatu malam, saat menemukan gadis itu berdoa di halaman belakang, menatap bulan purnama. "Langit bukan tempatmu. Tempatmu di sini: di lantai, di dalam sel, di bawah ketaatan."
Tapi Isabel tidak berhenti. Ia mulai menulis doa-doa kecil di potongan kain linen, doa untuk petani yang gagal panen, untuk tahanan yang disiksa di Crdoba, untuk seorang ibu yang kehilangan anaknya karena wabah. Ia menyelipkan doa-doa itu ke dalam roti yang dibagikan kepada pengemis di gerbang biara. Tak seorang pun tahu siapa yang menulisnya, hanya kalimat sederhana: "Allah melihatmu. Jangan takut."
Suatu hari, seorang pengemis tua (berwajah lelah dan mata penuh luka) datang ke gerbang. Ia berbisik pada biarawati penjaga: "Ada seorang gadis di sini yang berdoa untuk kami... yang namanya Isabel?"
Kabar itu sampai ke telinga Madre Leonor. Malam itu, Isabel dipanggil ke ruang hukuman.
"Kau menulis doa untuk conversos?" tuduh Madre Leonor, suaranya seperti pisau di atas batu. "Kau tahu hukumannya? Kau bisa dikirim ke pengadilan Inkuisisi. Kau bisa dibakar hidup-hidup!"