Menapaki 130 Tahun Kasih Keluarga Kudus:
Perjalanan Iman Missionariorum a Sacra Familia (MSF) dari Grave ke Nusantara
Pada tahun 1895, di tengah tekanan anti-klerikal di Prancis, sekelompok misionaris yang terusir dari tanah kelahiran mereka menemukan pelabuhan baru di Grave, Belanda. Di sanalah, dengan semangat yang tak pernah padam, Misionariorum a Sacra Familia (MSF) secara resmi didirikan, sebagai perwujudan iman akan kekuatan Keluarga Kudus sebagai model hidup Kristiani. Kini, pada 2025, MSF merayakan 130 tahun eksistensinya, sebuah perjalanan panjang yang diwarnai pengorbanan, harapan, dan kesetiaan pada panggilan ilahi.
Namun, kisah MSF bukan hanya soal Eropa. Ia menyeberangi lautan, menembus hutan, dan akhirnya berakar di tanah Nusantara, tempat 100 tahun kehadirannya di Indonesia (1926-2026) menjadi buah manis dari ketekunan, kerendahan hati, dan keyakinan bahwa Tuhan selalu berjalan bersama umat-Nya.
Akar di Eropa: Lahir dari Pengusiran, Tumbuh dalam Harapan
Segalanya bermula dari jiwa seorang imam muda: Jean Baptiste Berthier, seorang Missionaris La Salette yang terpanggil untuk membentuk komunitas religius yang berpusat pada Keluarga Kudus: Yesus, Maria, dan Yosef. Di tengah situasi politik Prancis yang memusuhi Gereja pasca-Revolusi dan Kekaisaran Napoleon, Berthier dan rekan-rekannya terpaksa meninggalkan tanah air. Mereka menemukan perlindungan di Grave, Belanda, tepat pada 28 September 1895 Kongregasi MSF secara resmi didirikan di bawah perlindungan Maria Bunda Rekonsiliasi dari La Salette.
MSF lahir bukan dalam kemudahan, melainkan dalam pengusiran, namun justru di sanalah benih misi universal ditanam: sebuah keluarga rohani yang meneladani Keluarga Nazaret dalam kesederhanaan, ketaatan, dan kasih.Â
Misi ke Ujung Dunia: Dari Grave ke Laham
Setelah bertahun-tahun memperkuat formasi dan mendapat pengakuan dari Tahta Suci, MSF mulai mengirim misionaris ke berbagai benua: Brasil, Chili, dan akhirnya Hindia Belanda. Pada 1924, tawaran datang dari para Kapusin yang telah melayani di Kalimantan sejak 1907 namun kewalahan menjangkau pedalaman. Setelah komunikasi dengan Vikaris Apostolik Batavia dan persetujuan dari Kongregasi Propaganda Fide di Roma, pada 1926, rombongan pertama MSF tiba di Laham, sebuah stasi kecil di hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.
Di sanalah misi dimulai: tanpa listrik, tanpa jalan raya, hanya dengan perahu dan doa. Mereka hidup bersama suku Dayak, belajar bahasa, menghormati adat, dan perlahan-lahan menabur benih Injil, bukan dengan kekuasaan, tapi dengan kehadiran.
Kehadiran MSF di Indonesia bukan hasil ekspansi, melainkan jawaban atas undangan, tanda kerendahan hati dan kesiapsediaan untuk "menjadi yang terkecil" demi kasih.Â
Tumbuh di Tengah Badai: Perang, Pengasingan, dan Kelahiran Baru
Masa Perang Dunia II dan pendudukan Jepang (1942-1945) menjadi ujian terberat. Para misionaris Belanda, termasuk Mgr. Jacob Jan Kusters MSF, Prefek Apostolik Banjarmasin, diinternir di Jawa. Banyak dari mereka tak kembali. Namun, justru di tengah kehancuran, panggilan lokal tumbuh. Pada 1937, Dyonisius Djono Adisoedjono menjadi calon imam MSF pertama dari Jawa, tanda bahwa Gereja mulai berakar di tanah Indonesia.
Pasca-kemerdekaan, MSF menjadi tulang punggung pastoral di Kalimantan dan Jawa Tengah. Mereka mendirikan paroki, seminari, sekolah, dan pusat katekese. Pada 1955, Vikariat Apostolik Samarinda didirikan, dipimpin oleh Mgr. Jacques Romeijn MSF, menjadikannya salah satu keuskupan pertama di dunia yang dipimpin oleh uskup dari kongregasi MSF.
Dari pengasingan lahir kepemimpinan lokal. Dari penderitaan, tumbuh Gereja yang mandiri. Ini adalah buah dari "berjalan dalam harapan bersama Tuhan".
100 Tahun di Indonesia: Misi yang Menjadi Keluarga
Hari ini, MSF hadir di dua provinsi utama: Kalimantan dan Jawa. Di Kalimantan, mereka melayani dari Tarakan hingga Sampit, dari pedalaman hingga kota. Di Jawa, dari Pati hingga Temanggung, dari Semarang hingga Yogayakarta, mereka menjadi gembala bagi keluarga-keluarga perkotaan dan pedesaan.
Yang paling khas dari karya MSF adalah kerasulan keluarga, sebuah pilihan teologis yang mengalir langsung dari karisma kongregasi. Di era digital, ketika keluarga rentan terpecah oleh layar dan individualisme, MSF justru menegaskan kembali meja makan sebagai altar domestik, doa bersama sebagai kekuatan, dan kasih sebagai bahasa utama.
100 tahun di Indonesia bukan sekadar angka, melainkan 100 tahun hadir sebagai "keluarga rohani" yang menemani keluarga-keluarga nyata dalam suka dan duka.Â