Kedua, Psikologi Kebutuhan Sosial. Karya seperti "Maslow's Hierarchy in Public Policy" atau "Capabilities Approach" (Amartya Sen) mengingatkan: kebijakan harus menjawab kebutuhan dasar manusia, rasa aman, harga diri, kebebasan, bukan hanya angka pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, Psikologi Mendengarkan (The Art of Listening). Buku seperti "Just Listen" (Mark Goulston) atau "Nonviolent Communication" (Marshall Rosenberg) melatih pejabat untuk mendengar tanpa menghakimi, memahami tanpa memotong, dan merespons tanpa defensif. Ini adalah keterampilan yang hilang dalam birokrasi kita yang terlalu sibuk "menjelaskan" daripada "memahami".
Keempat, Etika Kebijakan & Filsafat Sosial. Dari "A Theory of Justice" (John Rawls) hingga "Pedagogy of the Oppressed" (Paulo Freire), buku-buku ini mengajarkan bahwa keadilan bukan bonus, tapi fondasi. Kebijakan yang tidak adil (meski efisien) adalah kebijakan yang gagal.
Dari Top-Down ke Bottom-Up: Literasi sebagai Jembatan
Kebijakan top-down lahir dari asumsi: "Kami tahu apa yang terbaik untukmu."
Kebijakan bottom-up lahir dari pertanyaan: "Apa yang kamu butuhkan?"
Perbedaannya bukan pada metode, tapi pada literasi empatik.
Pejabat yang gemar membaca buku psikologi sosial akan tahu bahwa kemiskinan bukan hanya soal uang, tapi soal martabat. Ia akan tahu bahwa program makanan gratis yang tidak mempertimbangkan kualitas, keamanan, dan partisipasi warga justru bisa menjadi bentuk kekerasan struktural, pelecehan terhadap martabat manusia (rakyat kecil).
Dalam kasus MBG, alih-alih ngotot membela program, pejabat yang melek literasi empatik akan: Pertama, Mengunjungi langsung keluarga korban. Pejabat yang empatik memahami pentingnya kehadiran fisik dan kehangatan manusiawi dalam membangun kepercayaan. Dengan mengunjungi langsung keluarga korban, mereka menunjukkan rasa peduli dan keinginan untuk memahami situasi secara langsung, sehingga dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam dan personal tentang dampak program tersebut.
Kedua, Membaca laporan kesehatan masyarakat. Melalui pembacaan laporan kesehatan masyarakat, pejabat menunjukkan komitmen untuk memahami data dan fakta yang ada secara objektif. Ini membantu mereka melihat gambaran lengkap dari dampak program dan menilai efektivitasnya berdasarkan bukti yang ada, alih-alih berpegang pada asumsi atau propaganda.
Ketiga, Mengundang psikolog sosial dan ahli gizi dalam evaluasi. Melibatkan profesional seperti psikolog sosial dan ahli gizi menunjukkan pendekatan yang komprehensif dan berbasis ilmu pengetahuan dalam evaluasi program. Mereka dapat memberikan analisis yang mendalam tentang aspek psikologis dan nutrisi, serta membantu menyusun solusi yang tepat dan berkelanjutan.
Keempat, yang terpenting adalah Mendengarkan tanpa merasa diserang. Pejabat yang empatik tahu bahwa kritik adalah bagian dari proses perbaikan, bukan serangan pribadi. Dengan mendengarkan secara aktif tanpa merasa diserang, mereka membuka ruang dialog yang konstruktif dan membangun kepercayaan, sehingga mendorong kolaborasi untuk memperbaiki program secara berkelanjutan.
Menuju "Kementerian yang Membaca"
Bayangkan jika setiap kementerian memiliki: Pertama, Pojok Baca Nurani. Tempat ini berfungsi sebagai ruang refleksi dan pembelajaran bagi pejabat, di mana mereka dapat mengakses berbagai sumber seperti kisah nyata warga, laporan lapangan, puisi rakyat, dan buku psikologi sosial. Dengan membaca berbagai teks ini, pejabat diharapkan dapat memperdalam empati dan memahami secara lebih manusiawi kebutuhan dan perjuangan masyarakat, sehingga kebijakan yang dibuat lebih menyentuh hati dan relevan.
Kedua, Sesi Refleksi Bulanan. Bukan sekadar rapat evaluasi kinerja, sesi ini bertujuan untuk membuka ruang diskusi mendalam tentang pelajaran yang didapat dari jeritan dan pengalaman rakyat selama sebulan terakhir. Melalui refleksi ini, pejabat dapat belajar dari realitas di lapangan, memperbaiki pendekatan mereka, dan menyesuaikan kebijakan agar lebih sensitif dan efektif dalam menjawab kebutuhan masyarakat.