Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Literasi 73,52%: Angka di Kertas atau Cermin Kehidupan Nyata

27 September 2025   15:30 Diperbarui: 27 September 2025   14:35 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri) 

Literasi 73,52%: Angka di Kertas atau Cermin Kehidupan Nyata?

Refleksi Mendalam tentang Kesenjangan Literasi Antara Rakyat dan Pejabat dan Kaitannya dengan Pendidikan Bermutu

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang gemar membaca." (Soekarno) 

Kalimat ini sering diulang-ulang, terutama oleh pejabat dalam momen Hari Buku atau Hari Pendidikan. Tapi, pernahkah kita berhenti bertanya: apakah angka Indeks Pembangunan Literasi Masyarakata (IPLM) tahun 2024 sebesar 73,52% benar-benar mencerminkan kondisi nyata bangsa ini? Ataukah angka tersebut hanya sekadar angka indah yang tertera di atas kertas, lahir dari definisi sempit dan metode pengukuran yang bias?

Lebih jauh lagi: bagaimana mungkin kita mencapai literasi bermakna jika sistem pendidikan kita (yang seharusnya menjadi pabrik utama literasi) masih jauh dari bermutu? Artikel ini mencoba menyelami secara kritis apa arti angka tersebut, bagaimana realitas budaya baca di masyarakat, kondisi literasi di kalangan elit, dan yang tak kalah penting: mengapa pendidikan bermutu adalah prasyarat mutlak bagi literasi yang sesungguhnya.

Memahami Angka 73,52%: Lebih dari Sekadar Membaca Buku

Angka 73,52% merupakan hasil dari indeks yang dirilis oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Angka ini menunjukkan tingkat literasi masyarakat Indonesia tahun 2023, naik dari 70,69% pada tahun sebelumnya. Tapi, apa sebenarnya yang diukur?

Indeks ini tidak hanya mengukur kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga meliputi literasi informasi dan digital. Artinya, seseorang yang sekadar tahu cara mengakses berita di media sosial, menonton video edukatif di YouTube, atau mengisi formulir online sudah termasuk dalam kategori "melek literasi."

Di satu sisi, ini adalah pencapaian yang patut diapresiasi. Angka buta aksara yang dulu tinggi kini menurun drastis. Akan tetapi, di sisi lain, definisi luas ini mengaburkan perbedaan mendasar antara literasi fungsional dan literasi kritis yang melibatkan kemampuan berpikir analitis, mempertanyakan kekuasaan, dan membangun wawasan yang mendalam.

Namun, di balik angka ini, tersembunyi krisis sistemik: pendidikan kita belum mampu menghasilkan pembelajar seumur hidup. Siswa diajarkan untuk menghafal demi ujian, bukan untuk memahami; untuk menjawab soal pilihan ganda, bukan untuk merumuskan pertanyaan besar. Akibatnya, meski secara teknis "melek huruf", banyak lulusan sekolah tidak memiliki kebiasaan membaca di luar kurikulum, apalagi membaca buku pemikiran, filsafat, atau karya klasik yang menantang akal budi.

Pendidikan bermutu (yang menekankan learning mindset, deep learning, dan pembelajaran berbasis refleksi) adalah satu-satunya jalan untuk mengubah literasi dari sekadar keterampilan teknis menjadi kebiasaan intelektual dan moral. Tanpa itu, angka 73,52% hanyalah ilusi statistik.

Kondisi Pejabat dan Elite: Di Mana Posisi Mereka?

Sayangnya, tidak ada data resmi yang mengukur tingkat literasi pejabat publik secara khusus. Baik di tingkat pusat maupun daerah, tidak ada pengukuran yang sistematis terhadap kemampuan literasi anggota DPR, gubernur, bupati, atau pejabat eselon lainnya.

Namun, indikator tidak langsung bisa kita lihat dari berbagai fenomena. Survei UNESCO menyebutkan, hanya 0,001% penduduk Indonesia yang benar-benar gemar membaca buku. Di media sosial, pejabat sering lebih sibuk memamerkan mobil mewah, perjalanan ke luar negeri, atau makan enak daripada menunjukkan minat membaca buku. Tidak ada program wajib baca bagi pejabat dalam pelatihan kepemimpinan nasional, padahal ini seharusnya menjadi bagian dari pengembangan pemimpin berkualitas.

Kasus penyitaan buku "berhaluan kiri" tanpa pernah membacanya adalah gambaran betapa rendahnya tingkat literasi kritis di kalangan aparat keamanan dan birokrat. Mereka takut terhadap ide karena tidak mampu memahami atau mengkritisinya. Kebijakan yang dihasilkan pun cenderung dangkal dan reaktif, tidak didukung oleh kajian literatur yang mendalam.

Padahal, pemimpin yang lahir dari pendidikan bermutu adalah pemimpin yang terbiasa membaca, merefleksikan, dan mengambil keputusan berbasis bukti dan nilai. Jika sistem pendidikan kita tidak menumbuhkan kebiasaan ini sejak dini (di sekolah dasar hingga perguruan tinggi) bagaimana mungkin kita berharap pejabat hari ini menjadi teladan literasi?

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Pendidikan Bermutu: Jembatan Antara Angka dan Realitas

Apa makna angka 73,52% di tengah realitas ini?

Jika kita melihat dari sisi teknis, mungkin memang benar bahwa kemampuan dasar membaca dan menulis di Indonesia membaik. Tapi, pendidikan bermutu tidak diukur dari angka melek huruf, melainkan dari kemampuan lulusannya untuk berpikir, berempati, dan bertindak dengan integritas.

Indeks PISA 2022 menempatkan Indonesia di posisi ke-68 dari 81 negara dalam literasi membaca, dan hanya 17% siswa mampu memahami teks yang kompleks. Rata-rata buku yang dibaca orang Indonesia per tahun pun hanya sekitar 5-6 judul, itu pun sebagian besar buku pelajaran, komik, atau novel ringan.

Ini adalah cermin dari sistem pendidikan yang belum bermutu: kurikulum yang padat konten tapi dangkal makna, guru yang kelelahan mengajar demi target administratif, dan sekolah yang lebih fokus pada kelulusan ujian daripada pembentukan karakter intelektual.

Pendidikan bermutu adalah yang: Pertama, Bisa Berkembang Melalui Usaha dan Refleksi. Pendidikan bermutu dimulai dari penanaman kepercayaan bahwa kemampuan dan potensi manusia tidak bersifat statis, melainkan dapat berkembang melalui usaha, kegigihan, dan refleksi diri. Learning mindset mengajarkan bahwa setiap individu, termasuk siswa, memiliki kapasitas untuk belajar dan tumbuh, asalkan diberikan peluang dan dukungan yang tepat.

Pendekatan ini mendorong peserta didik untuk tidak mudah menyerah, menghargai proses, dan melihat kegagalan sebagai bagian dari perjalanan menuju keberhasilan. Dengan menanamkan mindset ini, pendidikan tidak hanya berorientasi pada hasil akhir, tetapi juga pada proses belajar yang berkelanjutan, sehingga melahirkan generasi yang resilient dan berjiwa inovatif.

Kedua, Mendorong Deep Learning: Pembelajaran yang Menghubungkan Disiplin Ilmu, Relevan dengan Kehidupan, dan Menyentuh Hati. Deep learning menuntut peserta didik untuk melampaui pemahaman superficial dan mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu secara holistik. Pembelajaran ini menekankan pentingnya pengaitan antara teori dan praktik, sehingga siswa mampu menerapkan ilmunya dalam konteks kehidupan nyata.

Lebih dari sekadar menghafal dan mengulang, deep learning mengajak siswa untuk memahami makna mendalam dari apa yang dipelajari, menyentuh aspek emosional dan empati, serta berkontribusi positif bagi masyarakat. Dengan pendekatan ini, pendidikan mampu membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter dan berjiwa kemanusiaan.

Ketiga, Melibatkan Kolaborasi Antara Sekolah, Orang Tua, dan Masyarakat: Sehingga Literasi Tidak Berhenti di Gerbang Sekolah. Transformasi pendidikan yang bermutu tidak bisa dilakukan sendiri oleh sekolah saja; melainkan membutuhkan kolaborasi erat antara sekolah, orang tua, dan masyarakat luas. Peran orang tua sebagai pendukung utama di rumah, serta keterlibatan masyarakat dalam aktivitas belajar dan pengembangan karakter, memperkuat ekosistem pendidikan yang inklusif dan berkelanjutan. 

Kolaborasi ini memastikan bahwa literasi dan nilai-nilai pendidikan tidak berhenti di ruang kelas, melainkan menyebar dan memperkuat budaya belajar di luar lingkungan sekolah. Dengan demikian, pendidikan menjadi proses yang menyentuh seluruh aspek kehidupan peserta didik dan masyarakat, menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter dan bertanggung jawab.

Tanpa transformasi menuju pendidikan seperti ini, angka 73,52% akan tetap menjadi statistik kosong yang tidak berdampak pada kualitas pemikiran bangsa. Data tersebut menunjukkan bahwa masih banyak tantangan yang harus diatasi untuk mewujudkan pendidikan bermutu. Jika proses ini tidak segera diubah dan ditingkatkan, peluang untuk membangun bangsa yang cerdas, resilient, dan berkarakter akan tetap terbatas.

Oleh karena itu, diperlukan komitmen bersama untuk menerapkan pendekatan yang menumbuhkan mindset positif, deep learning yang bermakna, dan kolaborasi yang kuat, agar angka tersebut bisa berubah menjadi indikator nyata dari kualitas dan potensi bangsa Indonesia yang sesungguhnya.

Risiko Ketika Angka Menjadi Proyek Seremonial

Ketika pemerintah terlalu bangga dengan angka indeks tanpa memperhatikan kualitasnya, risiko besar pun muncul. Literasi berubah menjadi kegiatan seremonial: lomba baca puisi, festival buku, atau acara seremonial tahunan. Tapi, di balik itu, tidak ada insentif struktural untuk menumbuhkan budaya membaca yang sesungguhnya.

Pejabat tidak diwajibkan membaca buku, apalagi menulis refleksi kebijakan berbasis literatur. Perpustakaan umum sering kali sepi, koleksinya usang dan tidak dikelola secara profesional. Jika yang diukur hanya akses internet dan kemampuan mengisi formulir online, maka kita sedang membangun masyarakat yang "melek teknologi" tapi buta gagasan.

Dan akar dari semua ini adalah pendidikan yang belum bermutu yang tidak mengajarkan siswa untuk mencintai buku, menghargai pengetahuan, dan berani mempertanyakan dunia.

Menuju Literasi yang Bermakna: Pendidikan Bermutu sebagai Fondasi

Agar angka 73,52% tidak hanya sekadar angka di atas kertas, kita perlu redefinisi literasi dan merevolusi pendidikan.

Bagi rakyat, literasi harus diartikan sebagai akses, bimbingan, dan relevansi buku yang mampu menjawab kebutuhan hidup mereka, dari pertanian hingga kewirausahaan, dari kesehatan hingga hak warga negara.

Bagi pejabat dan pemimpin, literasi harus menjadi kewajiban moral. Mereka harus membaca buku tentang sejarah, filsafat, ekonomi, dan keadilan sosial karena keputusan mereka menentukan nasib jutaan orang.

Dan bagi sistem pendidikan, pendidikan bermutu harus menjadi prioritas nasional bukan sekadar retorika. Ini berarti: Guru didukung sebagai fasilitator pembelajaran, bukan mesin pencetak nilai; Kurikulum dirancang untuk membangkitkan rasa ingin tahu, bukan menghafal; Sekolah menjadi pusat budaya literasi, dengan perpustakaan hidup yang dikelola oleh siswa dan guru bersama; Kolaborasi dengan orang tua diperkuat, agar kebiasaan membaca tumbuh di rumah, bukan hanya di kelas.

Kita perlu mendorong kebijakan yang mewajibkan daftar bacaan nasional untuk pejabat, mempublikasikan catatan bacaan bulanan para pemimpin, dan mengukur kedalaman referensi literatur yang mereka gunakan dalam pengambilan keputusan. Revitalisasi perpustakaan daerah harus diarahkan bukan sekadar sebagai gudang buku usang, tetapi sebagai pusat diskusi, inovasi, dan pemikiran kritis, tempat pendidikan bermutu terus berlangsung sepanjang hayat.

Penutup: Lebih dari Sekadar Angka, Menuju Pendidikan yang Menyentuh Jiwa

Angka 73,52% mungkin membuat kita tersenyum, tetapi jika pejabat kita masih menyita buku tanpa membacanya, jika kebijakan diambil dari insting tanpa kajian mendalam, dan jika rakyat hanya mampu membaca tanpa memahami maknanya, maka angka itu hanyalah cermin retak.

Literasi sejati bukan soal persentase, melainkan soal keberanian untuk berpikir, kerendahan hati untuk belajar, dan komitmen membebaskan pikiran, bukan mengontrolnya.

Seperti Bung Karno di Ende, yang tidak memiliki kekuasaan, tapi memiliki buku dan wawasan, kita pun harus belajar dari sejarah itu. Di era teknologi dan informasi ini, pertanyaannya bukan lagi "Apakah rakyat bisa membaca?" tetapi, "Apakah pejabat berani membaca dan berani berubah?"

Dan di balik semua itu, pertanyaan yang lebih mendasar: Apakah kita berani membangun sistem pendidikan yang benar-benar bermutu yang melahirkan manusia yang tidak hanya bisa membaca, tetapi juga berpikir, merasa, dan bertindak demi keadilan?

Misalnya, mewajibkan setiap instansi pemerintah untuk 1 jam pertama kerja digunakan untuk literasi, membaca buku-buku yang berkaitan langsung dengan tugas dan tanggung jawab instansi tersebut, bukan melulu tentang proposal proyek pengadaan perpustakaan yang akhirnya sepi pengunjung. Apalagi Presiden kita termasuk seorang pencinta buku. Bayangkan jika Presiden mewajibkan seluruh staf kepresidenan meminjam koleksi bukunya, membaca, membuat resume, dan membagikannya kepada publik. Keren, bukan?

Tanpa keberanian itu (dan tanpa komitmen pada pendidikan bermutu sebagai fondasi) angka 73,52% hanyalah angka di atas kertas yang tak pernah menyentuh jiwa bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun