Dan bagi sistem pendidikan, pendidikan bermutu harus menjadi prioritas nasional bukan sekadar retorika. Ini berarti: Guru didukung sebagai fasilitator pembelajaran, bukan mesin pencetak nilai; Kurikulum dirancang untuk membangkitkan rasa ingin tahu, bukan menghafal; Sekolah menjadi pusat budaya literasi, dengan perpustakaan hidup yang dikelola oleh siswa dan guru bersama; Kolaborasi dengan orang tua diperkuat, agar kebiasaan membaca tumbuh di rumah, bukan hanya di kelas.
Kita perlu mendorong kebijakan yang mewajibkan daftar bacaan nasional untuk pejabat, mempublikasikan catatan bacaan bulanan para pemimpin, dan mengukur kedalaman referensi literatur yang mereka gunakan dalam pengambilan keputusan. Revitalisasi perpustakaan daerah harus diarahkan bukan sekadar sebagai gudang buku usang, tetapi sebagai pusat diskusi, inovasi, dan pemikiran kritis, tempat pendidikan bermutu terus berlangsung sepanjang hayat.
Penutup: Lebih dari Sekadar Angka, Menuju Pendidikan yang Menyentuh Jiwa
Angka 73,52% mungkin membuat kita tersenyum, tetapi jika pejabat kita masih menyita buku tanpa membacanya, jika kebijakan diambil dari insting tanpa kajian mendalam, dan jika rakyat hanya mampu membaca tanpa memahami maknanya, maka angka itu hanyalah cermin retak.
Literasi sejati bukan soal persentase, melainkan soal keberanian untuk berpikir, kerendahan hati untuk belajar, dan komitmen membebaskan pikiran, bukan mengontrolnya.
Seperti Bung Karno di Ende, yang tidak memiliki kekuasaan, tapi memiliki buku dan wawasan, kita pun harus belajar dari sejarah itu. Di era teknologi dan informasi ini, pertanyaannya bukan lagi "Apakah rakyat bisa membaca?"Â tetapi, "Apakah pejabat berani membaca dan berani berubah?"
Dan di balik semua itu, pertanyaan yang lebih mendasar: Apakah kita berani membangun sistem pendidikan yang benar-benar bermutu yang melahirkan manusia yang tidak hanya bisa membaca, tetapi juga berpikir, merasa, dan bertindak demi keadilan?
Misalnya, mewajibkan setiap instansi pemerintah untuk 1 jam pertama kerja digunakan untuk literasi, membaca buku-buku yang berkaitan langsung dengan tugas dan tanggung jawab instansi tersebut, bukan melulu tentang proposal proyek pengadaan perpustakaan yang akhirnya sepi pengunjung. Apalagi Presiden kita termasuk seorang pencinta buku. Bayangkan jika Presiden mewajibkan seluruh staf kepresidenan meminjam koleksi bukunya, membaca, membuat resume, dan membagikannya kepada publik. Keren, bukan?
Tanpa keberanian itu (dan tanpa komitmen pada pendidikan bermutu sebagai fondasi) angka 73,52% hanyalah angka di atas kertas yang tak pernah menyentuh jiwa bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI