Lebih dari sekadar menghafal dan mengulang, deep learning mengajak siswa untuk memahami makna mendalam dari apa yang dipelajari, menyentuh aspek emosional dan empati, serta berkontribusi positif bagi masyarakat. Dengan pendekatan ini, pendidikan mampu membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter dan berjiwa kemanusiaan.
Ketiga, Melibatkan Kolaborasi Antara Sekolah, Orang Tua, dan Masyarakat: Sehingga Literasi Tidak Berhenti di Gerbang Sekolah. Transformasi pendidikan yang bermutu tidak bisa dilakukan sendiri oleh sekolah saja; melainkan membutuhkan kolaborasi erat antara sekolah, orang tua, dan masyarakat luas. Peran orang tua sebagai pendukung utama di rumah, serta keterlibatan masyarakat dalam aktivitas belajar dan pengembangan karakter, memperkuat ekosistem pendidikan yang inklusif dan berkelanjutan.Â
Kolaborasi ini memastikan bahwa literasi dan nilai-nilai pendidikan tidak berhenti di ruang kelas, melainkan menyebar dan memperkuat budaya belajar di luar lingkungan sekolah. Dengan demikian, pendidikan menjadi proses yang menyentuh seluruh aspek kehidupan peserta didik dan masyarakat, menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter dan bertanggung jawab.
Tanpa transformasi menuju pendidikan seperti ini, angka 73,52% akan tetap menjadi statistik kosong yang tidak berdampak pada kualitas pemikiran bangsa. Data tersebut menunjukkan bahwa masih banyak tantangan yang harus diatasi untuk mewujudkan pendidikan bermutu. Jika proses ini tidak segera diubah dan ditingkatkan, peluang untuk membangun bangsa yang cerdas, resilient, dan berkarakter akan tetap terbatas.
Oleh karena itu, diperlukan komitmen bersama untuk menerapkan pendekatan yang menumbuhkan mindset positif, deep learning yang bermakna, dan kolaborasi yang kuat, agar angka tersebut bisa berubah menjadi indikator nyata dari kualitas dan potensi bangsa Indonesia yang sesungguhnya.
Risiko Ketika Angka Menjadi Proyek Seremonial
Ketika pemerintah terlalu bangga dengan angka indeks tanpa memperhatikan kualitasnya, risiko besar pun muncul. Literasi berubah menjadi kegiatan seremonial: lomba baca puisi, festival buku, atau acara seremonial tahunan. Tapi, di balik itu, tidak ada insentif struktural untuk menumbuhkan budaya membaca yang sesungguhnya.
Pejabat tidak diwajibkan membaca buku, apalagi menulis refleksi kebijakan berbasis literatur. Perpustakaan umum sering kali sepi, koleksinya usang dan tidak dikelola secara profesional. Jika yang diukur hanya akses internet dan kemampuan mengisi formulir online, maka kita sedang membangun masyarakat yang "melek teknologi" tapi buta gagasan.
Dan akar dari semua ini adalah pendidikan yang belum bermutu yang tidak mengajarkan siswa untuk mencintai buku, menghargai pengetahuan, dan berani mempertanyakan dunia.
Menuju Literasi yang Bermakna: Pendidikan Bermutu sebagai Fondasi
Agar angka 73,52% tidak hanya sekadar angka di atas kertas, kita perlu redefinisi literasi dan merevolusi pendidikan.
Bagi rakyat, literasi harus diartikan sebagai akses, bimbingan, dan relevansi buku yang mampu menjawab kebutuhan hidup mereka, dari pertanian hingga kewirausahaan, dari kesehatan hingga hak warga negara.
Bagi pejabat dan pemimpin, literasi harus menjadi kewajiban moral. Mereka harus membaca buku tentang sejarah, filsafat, ekonomi, dan keadilan sosial karena keputusan mereka menentukan nasib jutaan orang.