Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Animal Farm di Era Digital: Cermin Kekuasaan yang Tak Pernah Usang, Refleksi untuk Gen Z Indonesia

26 September 2025   11:30 Diperbarui: 26 September 2025   11:24 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(tangkapan layar dari file PDF, dokpri)

Animal Farm di Era Digital: Cermin Kekuasaan yang Tak Pernah Usang, Refleksi untuk Gen Z Indonesia

Sebagai orang muda, Anda memulai gerakan sosial demi keadilan, menggalang dukungan lewat media sosial, dan berhasil menggoyahkan kekuasaan lama. Tapi tak lama kemudian, para pemimpin barumu mulai hidup mewah, mengubah aturan diam-diam, dan menuduh siapa pun yang kritis sebagai "pengkhianat".

Ini bukan skenario politik Indonesia hari ini, itu plot Animal Farm, novel setebal 144 halaman yang ditulis George Orwell pada 1945. Namun, ironisnya, kisah fabel tentang babi yang mengkhianati revolusi itu terasa lebih nyata di era digital daripada di zamannya sendiri. Di tangan Gen Z (generasi yang melek teknologi tapi rentan terhadap narasi manipulatif) Animal Farm bukan hanya karya sastra, melainkan manual kritis untuk bertahan hidup di tengah hutan propaganda modern.

Ketika Fabel Menjadi Fakta

Bayangkan seekor babi yang berjalan dengan dua kaki, mengenakan mantel tuan tanah, dan bermain kartu dengan manusia, makhluk yang dulu dianggap musuh utama. Itulah akhir tragis dari Animal Farm, novel alegoris George Orwell yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Prof. Bakdi Soemanto dan diterbitkan oleh Penerbit Bentang.

Ditulis sebagai kritik terhadap tirani Stalin pasca-Revolusi Rusia, Animal Farm ternyata jauh melampaui zamannya. Di tangan generasi muda Indonesia (khususnya Gen Z) novel ini bukan hanya karya sastra klasik, melainkan cermin hidup yang memantulkan realitas politik kontemporer: janji-janji manis yang berubah jadi manipulasi, idealisme yang dikorbankan demi kekuasaan, dan rakyat yang terus-menerus dimanfaatkan meski sudah "merdeka".

Dari Revolusi ke Represi

Di Peternakan Manor, binatang-binatang memberontak melawan Pak Jones, simbol penindasan feodal dan kolonial. Mereka membangun Peternakan Binatang dengan prinsip luhur: semua binatang setara. Tujuh Perintah pun ditetapkan sebagai konstitusi moral mereka.

Namun, perlahan-lahan, para babi (terutama Napoleon) mengambil alih kekuasaan. Mereka mengubah aturan, mengontrol narasi lewat Squealer (si tukang propaganda), dan mengorbankan Boxer (si pekerja setia) demi kepentingan elit. Di akhir cerita, para babi tak lagi bisa dibedakan dari manusia. Satu-satunya hukum yang tersisa: "Semua binatang setara, tetapi beberapa binatang lebih setara daripada yang lain."

Kalimat ini bukan sekadar ironi, ia adalah diagnosis politik abadi.

Kelebihan Buku Animal Farm

Pertama, Gaya Bercerita Sederhana tapi Tajam. Orwell menggunakan bentuk fabel (kisah binatang) yang mudah dipahami semua usia, namun sarat makna politik. Ini membuat kritik terhadap totaliterisme bisa diakses bahkan oleh pembaca muda.

Kedua, Alegori yang Universal dan Abadi. Meski terinspirasi dari Revolusi Rusia, pesan Animal Farm berlaku di mana saja: di Indonesia, Amerika Latin, Afrika, atau bahkan di dunia digital. Setiap masyarakat yang pernah mengalami euforia revolusi lalu kecewa oleh realitas kekuasaan akan merasakan resonansi kuat.

Ketiga, Karakter yang Simbolik dan Kuat. Setiap tokoh mewakili tipe sosial tertentu: Napoleon (pemimpin otoriter), Snowball (intelektual idealis), Boxer (rakyat pekerja), Squealer (media manipulatif). Ini memudahkan pembaca mengenali pola kekuasaan dalam kehidupan nyata.

Keempat, Bahasa yang Ringkas dan Efektif. Novel ini hanya 144 halaman, namun padat makna. Cocok untuk Gen Z yang terbiasa dengan konten cepat tapi mendalam.

Kekurangan Buku Animal Farm

Pertama, Sudut Pandang yang Sangat Hitam-Putih. Orwell menggambarkan manusia sebagai "musuh mutlak" dan binatang sebagai "korban murni". Dalam realitas politik modern, batas antara penindas dan yang tertindas seringkali kabur dan hal ini tidak dieksplorasi secara mendalam.

Kedua, Minimnya Representasi Perempuan. Tokoh perempuan seperti Clover dan Mollie hanya berperan sebagai pelengkap. Tidak ada tokoh perempuan yang menjadi agen perubahan atau kekuatan intelektual, sebuah kelemahan dari perspektif feminis.

Ketiga, Akhir yang Pesimistis Tanpa Jalan Keluar. Novel ini berakhir dengan kekalahan total idealisme. Tidak ada petunjuk bagaimana rakyat bisa bangkit lagi, yang bisa membuat pembaca muda merasa putus asa, bukan termotivasi.

Keempat, Konteks Sejarah yang Perlu Penjelasan Tambahan. Tanpa latar belakang Revolusi Rusia dan Stalinisme, pembaca mungkin kehilangan kedalaman makna. Untuk itu, edisi terjemahan Indonesia sangat diuntungkan dengan catatan penerjemah Prof. Bakdi Soemanto.

(sumber: mizanstore)
(sumber: mizanstore)

Relevansi bagi Politik Indonesia: Gen Z dan Kewaspadaan Digital

Bagi Gen Z Indonesia, generasi yang tumbuh di tengah banjir informasi, media sosial, dan polarisasi politik, Animal Farm menawarkan alat kritis yang sangat relevan:

Pertama, Bahaya Narasi Tunggal dan Manipulasi Fakta. Squealer dalam Animal Farm adalah arsitek propaganda: ia mengubah sejarah, memutarbalikkan fakta, dan meyakinkan binatang bahwa kelaparan adalah kemakmuran. Di Indonesia, Gen Z sering dihadapkan pada narasi politik yang dikemas manis lewat konten viral, buzzer, dan algoritma yang memperkuat bias.

"Kalau kamu tidak percaya pada kami, Jones akan kembali!" (Squealer)

Kalimat ini mirip dengan narasi politik kontemporer: "Kalau bukan kami, siapa lagi?" atau "Kalau bukan dia, nanti kacau!" Gen Z perlu belajar membaca di balik narasi, memverifikasi sumber, dan tidak mudah terbuai oleh retorika emosional.

Kedua, Boxer dan Mentalitas "Kerja Keras Tanpa Kritik". Boxer, kuda pekerja yang setia, adalah simbol rakyat yang percaya bahwa kerja keras saja cukup. Ia mengulang dua kalimat: "Aku akan kerja lebih keras!" "Napoleon selalu benar!"

Sayangnya, Boxer mati dikhianati, dijual ke tempat penyembelihan demi sebotol wiski. Ini adalah peringatan keras: kerja keras tanpa kesadaran politik hanya akan menguntungkan penguasa.

Di Indonesia, Gen Z sering didorong untuk "fokus kerja", "jangan politik-politikan", atau "urusan politik serahkan pada yang tua". Padahal, diam dalam ketidakadilan adalah bentuk komplikitas (rumit dan sulit). Seperti kata Goenawan Mohamad: "Kebenaran tidak lahir dari kepatuhan, tapi dari pertanyaan." 

Ketiga Perubahan Tujuh Perintah: Ketika Konstitusi Dikhianati. Tujuh Perintah awalnya jelas: jangan tidur di ranjang, jangan minum alkohol, jangan membunuh sesama. Tapi lambat laun, aturan itu diubah diam-diam di malam hari, tanpa sepengetahuan rakyat.

Ini mengingatkan kita pada amandemen konstitusi, revisi UU, perubahan batas usia calon, atau kebijakan darurat yang kadang menggerus hak rakyat atas nama "stabilitas" atau "pembangunan". Gen Z perlu aktif memantau dan menuntut transparansi, karena kekuasaan yang tidak diawasi akan selalu menyalahgunakannya.

Suara Para Pemikir: Mengapa Animal Farm Masih Menyengat?

Dalam dunia yang penuh dengan berita dan informasi yang terus berkembang, penting bagi kita untuk tidak sekadar menerima apa yang disajikan, tetapi juga mampu menganalisis dan mempertanyakan makna di baliknya. Melalui pandangan para pemikir terkenal seperti George Orwell, Pramoedya Ananta Toer, dan Slavoj iek, kita diajak untuk melihat lebih dalam tentang kekuasaan, keadilan, dan manipulasi dalam masyarakat modern. Gagasan mereka relevan bagi generasi muda Indonesia, khususnya Gen Z, dalam memahami dinamika sosial dan politik yang terus berkembang, serta mendorong mereka untuk menjadi agen perubahan yang kritis dan bertanggung jawab.

George Orwell sendiri menulis: "Penulis politik harus menulis seperti seorang dokter yang mendiagnosis penyakit masyarakat." 

Pernyataan Orwell ini hendak menekankan pentingnya ketajaman analisis dalam mengungkap masalah sosial dan politik. Seperti dokter yang tidak hanya melihat gejala tetapi juga mencari akar penyakit, penulis politik harus mampu mengupas lapisan-lapisan kepalsuan dalam masyarakat, seperti korupsi, ketidakadilan, atau manipulasi kekuasaan, tanpa terjebak pada propaganda atau emosi semata. 

Bagi Gen Z Indonesia, ini adalah panggilan untuk membaca karya-karya politik dengan kritis, mencari tahu apa yang disembunyikan di balik narasi resmi, dan memahami dinamika kekuasaan yang membentuk realitas mereka. Dengan pendekatan ini, mereka dapat mengenali "penyakit" seperti ketimpangan sosial atau penyalahgunaan wewenang dan mendorong perubahan yang berbasis pada kebenaran.

Pramoedya Ananta Toer pernah berkata: "Revolusi tidak selesai ketika penjajah pergi. Ia baru dimulai ketika kita bertanya: siapa yang sekarang berkuasa, dan untuk siapa?" 

Pramoedya mengingatkan bahwa kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari tanggung jawab untuk mempertanyakan struktur kekuasaan. Di Indonesia, di mana sejarah kolonialisme telah digantikan oleh dinamika politik modern, Gen Z harus terus memeriksa apakah pemimpin dan sistem yang ada benar-benar melayani rakyat atau hanya segelintir elit. Pertanyaan ini mendorong generasi muda untuk tidak puas dengan status quo, tetapi aktif menuntut transparansi dan keadilan, memastikan bahwa kekuasaan digunakan untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Slavoj iek menambahkan: "Tirani modern tidak datang dengan seragam, tapi dengan senyum, data, dan algoritma." 

iek menyoroti bagaimana kekuasaan di era digital sering terselubung dalam bentuk yang tampak ramah dan tidak mengancam. Algoritma media sosial, misalnya, dapat memanipulasi persepsi masyarakat dengan menyaring informasi yang sesuai dengan bias penggunanya, menciptakan ilusi kebebasan sambil mengarahkan opini publik. 

Bagi Gen Z Indonesia, yang hidup di tengah banjir informasi daring, ini adalah peringatan untuk tidak terkecoh oleh kemasan menarik atau narasi yang dipersonalisasi, tetapi untuk kritis terhadap sumber data, menggali fakta di luar algoritma, dan membangun kesadaran kolektif yang tidak mudah dikuasai oleh teknologi atau kepentingan korporat.

Pelajaran untuk Gen Z Indonesia

Gen Z Indonesia harus belajar untuk tidak mudah mempercayai pemimpin yang hanya meminta kepercayaan tanpa menunjukkan bukti nyata. Banyak pemimpin, seperti Napoleon dalam Animal Farm, lebih sibuk membangun kultus kepribadian daripada rekam jejak yang bisa dipertanggungjawabkan. Mereka sering mengandalkan karisma atau popularitas di media sosial untuk menutupi kekurangan dalam kinerja mereka. Gen Z perlu kritis mengevaluasi janji-janji manis dengan mencari data dan fakta, memastikan kepercayaan hanya diberikan kepada mereka yang transparan dan konsisten. Dengan begitu, generasi ini tidak akan mudah terjebak dalam pesona kosong yang hanya menguntungkan elit.

Literasi politik adalah senjata utama bagi Gen Z untuk menghadapi dinamika kekuasaan saat ini. Dengan memahami cara kerja politik, membaca berita dari berbagai sumber, dan mengenali bias, generasi muda dapat melindungi diri dari propaganda atau manipulasi informasi. Tanpa literasi politik, mereka rentan terperangkap dalam narasi yang sudah dikurasi oleh algoritma media sosial atau kepentingan elit. Untuk itu, Gen Z harus rajin membaca, bertanya, dan membandingkan informasi dari berbagai sudut pandang. Dengan kebiasaan ini, mereka bisa melihat isu secara lebih jernih dan tidak membiarkan algoritma menentukan "kebenaran" yang mereka terima. Sikap kritis ini memungkinkan mereka untuk tetap independen dan tidak mudah diperdaya.

Solidaritas antarindividu dalam masyarakat jauh lebih berharga daripada loyalitas buta kepada satu figur. Loyalitas tanpa prinsip, seperti yang ditunjukkan Boxer dalam Animal Farm, sering kali berujung pada pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang seharusnya diperjuangkan. Gen Z harus membangun komunitas yang kuat, saling mendukung, dan berani mengkritik demi keadilan, bukan sekadar mengikuti pemimpin secara fanatik. Dengan memprioritaskan solidaritas berbasis prinsip, mereka dapat menciptakan perubahan yang berarti. Kesetiaan mereka harus diberikan kepada keadilan dan kebenaran, bukan kepada individu yang mungkin mengejar agenda pribadi.

Perubahan sejati dimulai dari ruang diskusi yang hidup dan inklusif, bukan hanya dari kotak suara saat pemilu. Rapat Minggu di Animal Farm awalnya adalah wujud demokrasi, tetapi ketika rakyat diam, ruang itu diambil alih oleh elit yang haus kuasa. Gen Z harus aktif berdiskusi, baik di kampus, media sosial, maupun komunitas lokal, untuk memastikan suara mereka didengar dan ide-ide mereka tetap relevan. Dengan berpartisipasi aktif, mereka dapat mencegah ruang demokrasi dikuasai oleh segelintir orang. Diskusi yang kritis dan terbuka akan menjaga semangat perubahan tetap hidup dan mendorong masyarakat yang lebih adil.

Peternakan Kita, Masa Depan Kita

Animal Farm bukan hanya kisah tentang babi dan kuda. Ia adalah peringatan abadi: revolusi bisa gagal bukan karena rakyat lemah, tapi karena rakyat berhenti bertanya.

Bagi Gen Z Indonesia (yang hidup di era di mana suara bisa viral dalam hitungan detik, di mana satu cuitan bisa menggoyahkan kekuasaan) Animal Farm adalah panggilan untuk tidak menjadi penonton pasif.

Kita bukan Boxer yang hanya bisa berkata "kerja lebih keras".
Kita adalah Clover yang mulai curiga.
Kita adalah Benjamin yang ingat sejarah.
Dan, semoga, kita bisa menjadi generasi yang mencegah Tujuh Perintah berubah jadi satu kalimat ironis.

Karena di tangan Gen Z-lah, Peternakan Binatang bisa benar-benar menjadi tempat di mana semua binatang (semua rakyat) benar-benar setara.

Referensi

Orwell, George. Animal Farm. Penerjemah: Prof. Bakdi Soemanto. Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2016.
Pramoedya Ananta Toer. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Lentera Dipantara, 2004.
Goenawan Mohamad. Catatan Pinggir. Tempo, berbagai edisi.
iek, Slavoj. Living in the End Times. Verso, 2010.
Hitchens, Christopher. Why Orwell Matters. Basic Books, 2002.
Wawancara Najwa Shihab dengan tokoh muda, Mata Najwa, Metro TV, 2020--2024.
Data survei Indikator Politik Indonesia (2023): "Persepsi Gen Z terhadap Kepercayaan pada Elit Politik".

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun