Kedua, Boxer dan Mentalitas "Kerja Keras Tanpa Kritik". Boxer, kuda pekerja yang setia, adalah simbol rakyat yang percaya bahwa kerja keras saja cukup. Ia mengulang dua kalimat: "Aku akan kerja lebih keras!" "Napoleon selalu benar!"
Sayangnya, Boxer mati dikhianati, dijual ke tempat penyembelihan demi sebotol wiski. Ini adalah peringatan keras: kerja keras tanpa kesadaran politik hanya akan menguntungkan penguasa.
Di Indonesia, Gen Z sering didorong untuk "fokus kerja", "jangan politik-politikan", atau "urusan politik serahkan pada yang tua". Padahal, diam dalam ketidakadilan adalah bentuk komplikitas (rumit dan sulit). Seperti kata Goenawan Mohamad: "Kebenaran tidak lahir dari kepatuhan, tapi dari pertanyaan."Â
Ketiga Perubahan Tujuh Perintah: Ketika Konstitusi Dikhianati. Tujuh Perintah awalnya jelas: jangan tidur di ranjang, jangan minum alkohol, jangan membunuh sesama. Tapi lambat laun, aturan itu diubah diam-diam di malam hari, tanpa sepengetahuan rakyat.
Ini mengingatkan kita pada amandemen konstitusi, revisi UU, perubahan batas usia calon, atau kebijakan darurat yang kadang menggerus hak rakyat atas nama "stabilitas" atau "pembangunan". Gen Z perlu aktif memantau dan menuntut transparansi, karena kekuasaan yang tidak diawasi akan selalu menyalahgunakannya.
Suara Para Pemikir: Mengapa Animal Farm Masih Menyengat?
Dalam dunia yang penuh dengan berita dan informasi yang terus berkembang, penting bagi kita untuk tidak sekadar menerima apa yang disajikan, tetapi juga mampu menganalisis dan mempertanyakan makna di baliknya. Melalui pandangan para pemikir terkenal seperti George Orwell, Pramoedya Ananta Toer, dan Slavoj iek, kita diajak untuk melihat lebih dalam tentang kekuasaan, keadilan, dan manipulasi dalam masyarakat modern. Gagasan mereka relevan bagi generasi muda Indonesia, khususnya Gen Z, dalam memahami dinamika sosial dan politik yang terus berkembang, serta mendorong mereka untuk menjadi agen perubahan yang kritis dan bertanggung jawab.
George Orwell sendiri menulis: "Penulis politik harus menulis seperti seorang dokter yang mendiagnosis penyakit masyarakat."Â
Pernyataan Orwell ini hendak menekankan pentingnya ketajaman analisis dalam mengungkap masalah sosial dan politik. Seperti dokter yang tidak hanya melihat gejala tetapi juga mencari akar penyakit, penulis politik harus mampu mengupas lapisan-lapisan kepalsuan dalam masyarakat, seperti korupsi, ketidakadilan, atau manipulasi kekuasaan, tanpa terjebak pada propaganda atau emosi semata.Â
Bagi Gen Z Indonesia, ini adalah panggilan untuk membaca karya-karya politik dengan kritis, mencari tahu apa yang disembunyikan di balik narasi resmi, dan memahami dinamika kekuasaan yang membentuk realitas mereka. Dengan pendekatan ini, mereka dapat mengenali "penyakit" seperti ketimpangan sosial atau penyalahgunaan wewenang dan mendorong perubahan yang berbasis pada kebenaran.
Pramoedya Ananta Toer pernah berkata: "Revolusi tidak selesai ketika penjajah pergi. Ia baru dimulai ketika kita bertanya: siapa yang sekarang berkuasa, dan untuk siapa?"Â
Pramoedya mengingatkan bahwa kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari tanggung jawab untuk mempertanyakan struktur kekuasaan. Di Indonesia, di mana sejarah kolonialisme telah digantikan oleh dinamika politik modern, Gen Z harus terus memeriksa apakah pemimpin dan sistem yang ada benar-benar melayani rakyat atau hanya segelintir elit. Pertanyaan ini mendorong generasi muda untuk tidak puas dengan status quo, tetapi aktif menuntut transparansi dan keadilan, memastikan bahwa kekuasaan digunakan untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.