Ada sebuah momen yang tak pernah terlupakan. Seorang ibu lanjut usia dengan demensia berat duduk di kursi roda, tak bisa bicara, hampir tak bereaksi. Anaknya datang setiap hari, membawakan bubur, menyisir rambutnya, bernyanyi lagu waktu kecil: "Naik delman, naik delman..."
Suatu hari, di tengah nyanyian itu, tangannya perlahan terangkat. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk pelan di lutut, mengikuti irama. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak ingat nama anaknya, tak tahu tahun berapa, tapi hatinya mengenali lagu itu. Hatinya mengenali cinta itu. Itulah keajaiban manusia: jiwa tidak butuh memori untuk merasakan cinta.
Di kesempatan lain bertemu seorang kakek yang lupa jalan pulang ke arah rumahnya. Rumahnya di utara tapi dia sudah nyasar di selatan desa, sudah kurang lebih 500-an meter dari rumahnya. Untung ada warga desa yang kenal sehingga mengantar pulang sang kakek. Dan oleh anak dan cucunya dikisahkan kalau si kakek sudah beberapa kali salah masuk rumah atau paling jauh nyasar ke desa tetangga dan tidak pulang dua hari.Â
Bagaimana Kita Harus Bersikap?
Merawat penderita demensia bukan soal memperbaiki otak mereka karena itu tidak mungkin. Tapi tentang membuat mereka merasa aman, dihargai, dan dicintai meski mereka lupa siapa kita. Beberapa langkah sederhana yang bisa kita lakukan:
Pertama, Jangan koreksi terlalu keras. Bila ia katakan, "Ibu mau pulang ke rumah." Katakan saja, "Iya, nanti kita pulang bareng. Sekarang ayo minum teh dulu."
Kedua, Gunakan nada lembut. Suara keras atau nada kesal justru membuat mereka panik. Bicara pelan, dekat, dengan senyum tulus.
Ketiga, Sentuh dengan kasih. Pegang tangannya, usap punggungnya, peluk. Sentuhan adalah bahasa universal yang tak pernah dilupakan.
Keempat, Libatkan mereka. Biarkan mereka ikut kegiatan sederhana melipat baju, menyiram bunga, memegang cucu. Rasa berguna sangat penting untuk menjaga martabat mereka.
Kelima, Terima emosi mereka. Bila mereka marah, jangan melawan. Katakan, "Ibu lagi kesal ya? Ibu capek? Saya di sini kok."
Mereka Tidak Hilang, Hanya Lupa Jalan Pulang
Demensia memang kejam. Ia merenggut ingatan, identitas, kemandirian. Tapi satu hal yang tak bisa direbut: jiwa manusia. Di balik kabut pikiran yang tebal, di balik pertanyaan berulang, di balik air mata yang tidak tahu sebabnya... ada seseorang yang pernah mengasuh, mencintai, dan hidup dengan sepenuh hati.