Personalisasi adalah Jiwa Pendidikan Bermutu, Pandangan Sir Ken Robinson yang Membuka Mata
"Masa depan pendidikan bukan soal standarisasi, tapi soal personalisasi. Kita harus menyadari bahwa setiap anak memiliki kombinasi bakat yang unik."Â Sir Ken Robinson, Creative Schools: The Grassroots Revolution That's Transforming Education (2015)
Pernyataan ini bukan sekadar kritik terhadap sistem pendidikan. Ia adalah gong besar yang membangunkan kita dari tidur panjang. Selama puluhan tahun, dunia mendidik anak-anak seolah mereka produk di lini produksi: masuk di satu ujung sebagai individu berbeda, lalu keluar di ujung lain sebagai lulusan yang seragam. Tapi di era digital yang menuntut inovasi, keragaman, dan kecepatan adaptasi, cara seperti itu sudah tidak relevan lagi.
Sekolah Bukan Pabrik, Anak Bukan Barang Jadi
Robinson dengan tegas menolak model pendidikan warisan era industri. Di masa lalu, sekolah dirancang seperti pabrik: anak-anak dikategorikan berdasarkan usia, duduk rapi di bangku, mendengarkan guru seperti operator mesin, lalu dinilai lewat ujian baku. Tujuannya? Menghasilkan tenaga kerja yang patuh, teratur, dan bisa membaca-penulisan-hitung.
Tapi manusia bukan mesin. Anak-anak bukan unit produksi yang harus keluar dengan spesifikasi sama. Mereka lahir dengan minat, gaya belajar, dan bakat yang berbeda-beda. Ada yang jago berhitung, ada yang ahli bercerita, ada yang lincah menari, ada yang peka terhadap perasaan orang lain. Namun sistem kita justru sering mengabaikan semua itu, hanya karena tidak masuk dalam "mata pelajaran inti".
Bakat Itu Banyak Bentuknya, Jangan Dihakimi dari Nilai Raport Saja
Kita masih hidup dalam budaya yang menganggap matematika dan bahasa Indonesia sebagai ukuran utama kepintaran. Padahal, kecerdasan itu multidimensi. Seorang siswa yang kesulitan di ujian fisika mungkin justru brilian saat merancang robot dari barang bekas. Siswa yang nilai bahasanya pas-pasan bisa saja menjadi penyair hebat atau pembicara publik yang menginspirasi.
Robinson mengingatkan: kreativitas adalah bentuk kecerdasan yang setara dengan logika dan analisis. Ia bukan aktivitas sampingan yang dilekatkan pada "ekstrakurikuler", melainkan kompetensi inti di abad ke-21. Dunia butuh orang-orang yang bisa memecahkan masalah baru, bukan hanya menghafal jawaban lama.
Namun sayangnya, banyak sekolah justru membunuh kreativitas. Anak-anak diajarkan untuk takut salah. Jawaban yang tidak sesuai kunci langsung dikoreksi. Pertanyaan yang nyeleneh dianggap gangguan. Padahal, di balik kesalahan dan pertanyaan aneh itulah letak benih inovasi.
Personalisasi: Memberi Ruang Agar Bakat Bisa Bernapas
Yang dimaksud Robinson dengan personalisasi bukan sekadar memilih mata pelajaran pilihan. Ia jauh lebih dalam, yakni: Pertama, Sekolah harus menjadi tempat di mana setiap anak merasa dilihat berarti bahwa pendidikan harus mampu mengenali dan menghargai keunikan serta kebutuhan masing-masing siswa, sehingga mereka merasa dihargai, didukung, dan termotivasi untuk berkembang sesuai potensi mereka. Dengan menciptakan suasana yang inklusif dan memperhatikan keberagaman, sekolah dapat membantu setiap siswa merasa nyaman dan percaya diri dalam belajar.
Kedua, Guru bukan lagi sumber tunggal pengetahuan, tapi fasilitator yang membimbing proses eksplorasi menegaskan bahwa peran guru kini lebih sebagai pendamping dan pembimbing yang membantu siswa menemukan dan memahami ilmu secara aktif, bukan sekadar menyampaikan materi secara satu arah. Guru mendorong siswa untuk berpikir kritis, bertanya, dan mencari tahu sendiri, sehingga proses belajar menjadi lebih bermakna dan membangun kemampuan belajar mandiri.