Aristoteles:
"Tidak, Socrates. Rakyat tidak boleh jadi seperti mereka. Karena virtue itu di tengah  bukan diam seperti budak, bukan marah seperti anarkis. Tapi kritik yang terukur, seperti hujan yang menyuburkan, bukan banjir yang menghancurkan."
Thomas Aquinas:
"Dan ingat, balas dendam itu milik Tuhan. Tapi reformasi itu milik rakyat. Maka, rakyat harus menggunakan akal, bukan amarah. Karena fides et ratio (iman dan akal) harus berjalan bersama."
Rocky Gerung (sambil menyeruput kopi):
"Tapi lihat realitasnya: rakyat sudah tidak percaya pada akal lagi. Mereka percaya pada viral. Maka, satu-satunya cara agar pejabat mendengar adalah dengan membuat mereka takut pada bayangan sendiri. Kalau tidak disahkan UU Perampasan Aset, jangan salahkan rakyat kalau mulai perampasan aset secara kultural misalnya, nonton gratis di bioskop milik pejabat."
Plato (terkejut):
"Apa itu perampasan kultural?"
Rocky:
"Ya, misalnya, rakyat nonton film G30S di rumah dinas pejabat tanpa izin. Atau nyanyi lagu reformasi di kolam renang menteri sambil bawa spanduk: 'Ini bukan kolam, ini laut keadilan.'"
Socrates (tersenyum):
"Jadi, kita kembali ke pertanyaan awal: Apakah keadilan itu ketika hukum ditegakkan... atau ketika pejabat takut buka Twitter (sekarang jadi X sejak diambil alih oleh bos Tesla)?"
[Semua terdiam. Hanya suara angin dan notifikasi HP Aristoteles yang berbunyi: "Anda punya 1 notifikasi: TikTok viral, 'Plato vs DPR: Siapa Lebih Sok Tahu?'"]
Thomas Aquinas (menghela napas):
"Ya Tuhan, tolonglah bangsa ini... dan tolong juga algoritma media sosial-nya."
Rocky Gerung (berdiri, siap pergi):
"Intinya: kalau bahasa pejabat tidak beradab, maka rakyat akan menciptakan bahasa baru. Dan bahasa baru itu bernama: demo, satire, dan... ketidakpercayaan permanen."
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI