Massa langsung riuh.
"Lihat ini!"Â serunya, mengangkat ponsel yang memutar video viral: rumah mewah di kawasan elite yang dijarah massa. "Ini rumah Ahmad Sahroni? Bukan. Ini rumah Uya Kuya? Bukan. Ini rumah Eko Patrio? Juga bukan!"
Dia berhenti sejenak, membuat dramatisasi ala sinetron.
"Ini adalah rumah fiksi... hasil deepfake dan editing kreatif dari teman-teman Fakultas Komunikasi! Tapi... kalau UU-nya tidak disahkan, besok bisa jadi kenyataan!"
Massa tertawa terbahak-bahak, tapi di balik tawa itu ada amarah yang nyata.
"Kami tidak mau merampas aset secara liar! Tapi kalau Bapak-Bapak terus menunggu SMS dari Ketum, sementara rakyat melihat aset negara dikorupsi dan pelakunya hidup mewah, jangan heran kalau suatu hari nanti ada warga yang bawa gergaji, kunci pas, dan spanduk bertuliskan 'Ini Aset Rakyat, Saya Titipkan di Garasi Saya Dulu!'"
Di dalam gedung, seorang anggota dewan yang kebetulan menonton siaran langsung di HP-nya langsung tersedak kopi.
"Ini mahasiswa nggak cuma kritis... mereka sudah masuk ranah stand-up comedy politik!"Â katanya sambil geleng-geleng.
Tapi tiba-tiba, suasana berubah. Sekjen Fraksi A buru-buru masuk ke ruangan.
"Pak! Ada update dari Ketum! Beliau bilang... approve aja RUU-nya, asal jangan sampai nanti nama partai dikait-kaitkan dengan penjarahan rumah artis!"
"Tapi Pak, itu kan cuma video bohongan!"
"Tapi viral, Mas! Viral itu bahaya! Rakyat bisa percaya!"
Akhirnya, dengan tergesa-gesa, rapat dipercepat. Draft UU dikeluarkan dari laci yang sudah berdebu. Tanda tangan mulai berpindah tangan. Salah satu anggota bahkan menandatangani sambil berkata,
"Semoga Tuhan mengampuni kami... bukan karena menunda-nunda, tapi karena baru bertindak setelah dikancani lewat parodi penjarahan rumah Uya Kuya."