Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

[rohdemo] Mahasiswa Harus Berpikir Ulang: Jangan Biarkan Suara Keadilan Diculik oleh Penyusup yang Anarkis

1 September 2025   16:00 Diperbarui: 1 September 2025   18:31 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Mahasiswa Harus Berpikir Ulang: Jangan Biarkan Suara Keadilan Diculik oleh Penyusup yang Anarkis

Di tengah tuntutan keadilan, ancaman terbesar bukan hanya dari penguasa yang tuli, tapi dari penyusup yang ingin mengubah suara hati menjadi kerusuhan. Mahasiswa harus jernih: jangan biarkan perjuangan suci diculik oleh mereka yang haus chaos.

 

Mahasiswa selalu menjadi garda terdepan dalam pergerakan moral bangsa. Dari tahun 1928 hingga 1998, nama mereka terukir dalam sejarah sebagai pelopor perubahan, pembawa obor keadilan, dan suara hati nurani rakyat. Namun, di tengah gelombang demonstrasi yang kembali menggema akhir-akhir ini, ada satu pertanyaan besar yang harus dijawab dengan jujur: apakah aksi kita masih murni membela rakyat, atau telah menjadi alat bagi kekacauan yang justru merugikan rakyat itu sendiri?

Kini, ancaman terbesar bukan hanya datang dari sikap arogan penguasa atau kegagapan sistem, tapi dari penyusup yang menyusup di barisan kita. Mereka bukan mahasiswa, bukan aktivis, bukan pekerja, bukan warga yang peduli. Mereka adalah provokator yang sengaja dilepas, kelompok anarkis yang menunggangi amarah kolektif, atau oknum yang hanya ingin kekacauan. Mereka masuk di tengah massa, menghasut, melempar batu, membakar halte, merusak kantor pelayanan publik, bahkan mengarahkan massa ke rumah-rumah pribadi untuk dijarah. Dan ketika asap membubung, siapa yang disalahkan? Bukan para penyusup itu. Tapi mahasiswa. Rakyat. Gerakan moral.

Fasilitas umum yang dibakar (kantor dewan, jembatan penyeberangan, stasiun KRL, pos polisi, kantor kelurahan) bukan milik pejabat. Itu milik rakyat. Itu dibangun dari uang pajak ibu-ibu penjual gorengan, dari keringat tukang becak, dari upah buruh harian. Ketika fasilitas itu hancur, yang menderita bukan pejabat di mobil mewahnya, tapi warga miskin yang kini harus jalan kaki dua jam lebih jauh karena halte tidak ada. Dan ironinya, kita yang turun untuk membela mereka, justru ikut merusak alat bantu kehidupan mereka.

Di sinilah letak dilema besar. Apakah masih bijak melanjutkan aksi di tengah situasi yang mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin kacau? Mahasiswa perlu berpikir ulang. Bukan berarti menyerah, bukan berarti diam. Tapi kita harus lebih cerdas, lebih waspada, dan lebih bertanggung jawab. Karena kekuatan gerakan rakyat bukan diukur dari seberapa besar kerusuhannya, tapi dari seberapa besar pengaruh moral dan tekanan sosial yang bisa dihasilkan secara damai.

Ada banyak cara untuk menyuarakan keadilan tanpa membakar warisan bangsa: aksi duduk damai, mogok kelas dengan narasi jelas, kampanye digital masif, audiensi terbuka, laporan ke lembaga HAM, bahkan puasa nasional sebagai simbol duka atas kegagalan sistem. Gerakan yang kuat bukan yang paling keras, tapi yang paling sulit untuk diabaikan karena integritasnya.

Mari kita jaga kemurnian perjuangan.
Jangan biarkan idealisme dicemari oleh orang-orang yang hanya ingin hancur.
Jangan jadikan kampus sebagai tempat berkumpulnya massa anarkis, tapi jadikan sebagai benteng pemikiran yang terbuka, kritis, dan beretika.
Dan sebelum turun ke jalan lagi, tanya diri:
Apakah aksi kita akan membawa perubahan, atau hanya memperparah luka bangsa?

Karena Indonesia tidak butuh lebih banyak api.
Ia butuh cahaya dari pikiran jernih, hati yang peduli, dan tindakan yang bertanggung jawab.
Dan di tangan mahasiswa, cahaya itu masih bisa menyala.
Asal kita tidak membiarkannya padam oleh asap kemarahan yang dikendalikan oleh mereka yang tak pernah mencintai negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun