Alat dan Asap
Di balik sirene yang menggema dan ratusan personel bersenjata yang berjaga di depan gedung DPR, ada skenario besar yang sedang berjalan, bukan untuk melindungi rakyat, tapi untuk menutupi rapat gelap para pemangku kuasa. Polisi dijadikan tameng, dipaksa berdiri di garis depan kerusuhan, sementara di balik pintu marmer, tangan-tangan licik membagi hasil dari anggaran yang seharusnya menyentuh desa-desa kelaparan.
Mereka pakai seragam sebagai kambing hitam, ketika rakyat marah. Mereka disuruh menangkap pengunjuk rasa, tapi tak pernah diperintah menangkap koruptor. Padahal, musuh sebenarnya bukan di jalanan, musuhnya duduk di kursi empuk, minum kopi mahal, dan tertawa melihat rakyat saling bentrok dengan aparat yang seharusnya saudara.
Bila sirene berdengung, rakyat menoleh ke jalanan,
Polisi berdiri di depan, berbaju besi, berwajah amarah,
Padahal di balik gedung marmer, para pemangku kuasa
sedang menandatangani kontrak dengan tangan gemetar
bukan karena takut dosa,
tapi takut ketahuan: uang rakyat sudah jadi emas cincin dan kapal pesiar.
Mereka pahat nama di monumen,
tapi ukir hutang di hati anak negeri.
Rakyat lapar, tapi anggaran dikubur dalam tender siluman,
dalam rapat-rapat tanpa notulen,
dalam mobil mewah yang tak pernah macet
sementara polisi disuruh berdiri di depan kerusuhan,
menahan batu, menahan amarah,
menahan pertanyaan: "Kenapa kami yang disalahkan?"
Polisi bukan musuh, tapi kambing hitam yang dibersihkan seragamnya,
dipakai saat dibutuhkan, dicuci saat berdarah,
dibuang saat citra retak.
Sementara di lantai atas, DPR tertawa dalam pendingin ruangan,
membagi kue dari tulang punggung rakyat,
dan biarkan asap gas air mata
menutupi bau korupsi yang membusuk di laci-laci kekuasaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI