Benih di Atas Lantai yang Retak
Kamis, 28 Agustus 2025. Pukul 09.00 WIB.
Hujan deras menggema di atap seng kelas 4 SD Negeri Kalibening. Di depan papan tulis, Bu Sari berdiri kaku, jemarinya gemetar memegang kapur. Di hadapannya, dua puluh pasang mata murid menatap kosong ke lantai yang retak. "Satu jam lagi ulangan matematika, tapi mereka bahkan tak bisa menjumlahkan 5 + 3," pikirnya, dada sesak.
Sejak tiga bulan lalu, Bu Sari (guru muda lulusan IKIP yang baru dipindahkan ke sekolah terpencil di lereng Merapi ini) telah mencoba segala cara. Metode konvensional? Siswa malah tertidur. Hukuman? Mereka semakin memberontak. Bahkan poster motivasi "Rajin Belajar, Sukses di Masa Depan!" yang ia tempel di dinding kelas hanya jadi sarang laba-laba.
"Guru harus membumi, Bu. Bukan sekadar menggurui," kata-kata almarhum Romo Mangunwijaya itu tiba-tiba berdentum di kepalanya. Ia teringat buku catatan usang yang diberikan sang Romo saat magang di Sekolah Mangunan dulu: "Pendidikan bukan ladang untuk menanam angka, tapi kebun untuk menumbuhkan jiwa."
Tapi bagaimana caranya? Di sini, di Kalibening yang dilanda gempa setiap musim penghujan, murid-murid lebih takut pada gemuruh gunung daripada soal ujian.
Senin, 1 September 2025. Pukul 06.30 WIB.
Bu Sari tiba di sekolah lebih pagi dari biasa. Ia menghampar tikar di halaman yang dipenuhi rerumputan liar (tempat biasanya siswa bermain kelereng) lalu meletakkan keranjang berisi jagung, padi, dan daun pisang.
"Hari ini kita belajar matematika di luar kelas!" serunya, suara bergetar.
"Ngapain, Bu? Nanti hujan!" protes Dika, bocah kurus berwajah muram yang selalu duduk di bangku paling belakang sejak ayahnya meninggal tertimbun longsor.
"Kita akan hitung berapa butir jagung yang bisa ditanam di kebun sekolah. Kalau hujan, kita berlindung di gubuk petani," jawab Bu Sari, mencoba tersenyum. Ia sengaja memilih jagung, tanaman yang biasa ditanam warga setempat agar murid merasa dekat.