Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Commuting Jarak Jauh dengan Bus Antar Kota: Saat PERJALANAN Menjadi CERITA, Bukan Sekadar PERPINDAHAN

22 Agustus 2025   21:30 Diperbarui: 22 Agustus 2025   21:20 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan chat GPT, dokpri)

Commuting Jarak Jauh dengan Bus Antar Kota: Saat Perjalanan Menjadi Cerita, Bukan Sekadar Perpindahan

[31 tahun lalu tepatnya 8 Agustus 1994 saya menumpang trans Flores mulai dari Ruteng menuju Surabaya. Perjalanan selama tiga hari dua malam itu melewati selat Sape (Labuan Bajo-Sape/Bima), pulau Sumbawa, selat Lombok (Sumbawa-Lombok), pulau Lombok, selat Lembar (Lombok-Bali), pulau Bali, selat Bali (Gilimanuk-Ketapang) dan pulau Jawa (dengan perhentian terakhir di Surabaya. Kemudian sambung dengan travel menuju Salatiga. Sebuah perjalanan panjang yang amat melelahkan. Pada masa itu belum dikenal istilah commuting. Lelah dan senang bercampur menjadi satu. Saya mencoba menggambarkan kembali kenangan itu dengan tulisan prosa esai berikut ini. Meski tidak sungguh menggambarkan kenyataan kala itu, namun cukup sebagai pintu masuk untuk memahami makna commuting]

***

Pukul 03.00 dini hari. Udara masih gelap, dingin menyusup lewat celah jaket. Di terminal antar kota, lampu kuning menyala redup. Penumpang berbaris, mengantre tiket, mengangkat tas besar ke bagasi bawah. Beberapa masih menguap, mata belum sepenuhnya terbuka. Yang lain sudah duduk tenang, memeluk ransel seperti pelindung. Mereka bukan turis yang sedang liburan. Mereka adalah komuter jarak jauh, mereka yang setiap minggu, bahkan setiap hari, menempuh ratusan kilometer dengan bus antar kota.

Ini bukan perjalanan singkat. Ini bisa 6 jam. 8 jam. 12 jam. Bahkan berhari-hari. Dari kampung halaman ke kota besar. Dari rumah ke tempat kerja. Dari keluarga ke tuntutan hidup. Dan dalam waktu yang begitu panjang, commuting dengan bus antar kota bukan lagi soal transportasi, ia berubah menjadi pengalaman hidup.

Bus Antar Kota: Ruang Transisi yang Penuh Makna

Bayangkan: kamu duduk di kursi empuk, tapi tidak terlalu empuk. AC menyala, tapi kadang terlalu dingin atau tiba-tiba mati. Musik dangdut atau film laga diputar dari layar depan. Suara mesin menghentak pelan, ritmis, seperti detak jantung yang tak pernah berhenti. Jendela di sampingmu memperlihatkan jalanan yang terus bergerak, desa, sawah, kota, terowongan, jembatan.

Di sinilah kamu menghabiskan seperempat hari, atau bahkan lebih. Dan dalam waktu itu, otakmu punya ruang untuk berjalan-jalan juga.

Commuting jarak jauh dengan bus bukan seperti naik motor atau kereta yang padat dan penuh tekanan. Ia memberimu waktu. Waktu untuk tidak melakukan apa-apa. Waktu untuk memilih: tidur, membaca, menulis, menatap langit, atau sekadar merenung bahkan bolak balik ke kamar mandi bis hanya untuk merentangkan biar tidak kejang dan kesemutan. [pada masa itu, bis antarkota atau antarpulau dan antarprovinsi dilengkapi dengan toilet, supaya yang kebelet tidak harus mengganggu sopir untuk minta berhenti di pom bensin].

Bagi banyak orang, perjalanan panjang ini adalah satu-satunya waktu dalam seminggu yang benar-benar milik mereka sendiri. Tidak ada atasan, tidak ada notifikasi kerja, tidak ada tuntutan keluarga. Hanya kamu, jalan raya, dan pikiranmu yang mengembara.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Psikologi Komuter Jarak Jauh: Antara Rindu dan Tanggung Jawab

Siapa saja yang melakukan commuting jarak jauh dengan bus antar kota? Mereka adalah: 1) Pekerja migran yang bekerja di kota besar, tapi ingin tetap tinggal di kampung bersama orang tua. 2) Mahasiswa yang kuliah di ibu kota, tapi orang tua tak mampu menyewa kos. [Atau mahasiswa yang baru pertama kali meninggalkan kampung halamannya, kotanya, pulaunya, provinsinya dan belajar di kampung lain, kota lain, pulau lain, provinsi lain. Yang masa liburnya mungkin 5 tahun setelah sukses menamatkan kuliah, itupun kalau kuliahnya lancar dan tidak dibelokkan tujuan awal kuliah dengan menjadi Pak Ogah yang mengatur lalu lintas sembali menyorong tangan meminta lembaran dua ribuan]. 3) Tenaga kesehatan, guru, atau pegawai negeri yang ditempatkan di daerah terpencil. 4) Pengusaha kecil yang bolak-balik membawa barang dagangan.

Mereka semua punya satu kesamaan: hidup terbagi. Antara tempat kerja dan rumah. Antara impian dan akar. Antara masa depan dan keluarga.

Setiap kali naik bus, mereka tidak hanya membawa tas. Mereka membawa beban emosional. Rindu pada anak yang belum sempat diajak main. Rasa bersalah karena tidak bisa hadir di acara keluarga. Kelelahan fisik yang menumpuk. Tapi juga harapan: gaji yang cukup, pekerjaan yang stabil, masa depan yang lebih baik.

Dan di dalam bus, semua perasaan itu muncul. Kadang kamu melihat penumpang menangis pelan sambil menatap foto di ponsel. Kadang kamu mendengar obrolan telepon yang penuh rindu: "Iya, Ma, besok aku pulang. Jangan khawatir."

Di sinilah psikologi perjalanan jauh terasa paling nyata: bus bukan hanya mengangkut tubuh, tapi juga mimpi, kerinduan, dan perjuangan.

Kehidupan di Dalam Bus: Komunitas Sementara yang Hangat

Anehnya, meski penumpang tidak saling kenal, bus antar kota menciptakan ikatan sesaat yang hangat.

Ada ritual-ritual kecil yang terbentuk secara alami seperti, Penumpang saling menawarkan makanan: "Mau? Saya bawa nasi bungkus." Orang tua membantu angkat barang penumpang lain. Sopir dan kondektur menyapa dengan akrab, bahkan tahu nama penumpang tetap. [Atau kondektur yang memberi kode-kode kepada penumpang untuk waspada pada bawaan yang jadi incaran maling kepepet: HP, dompet atau barang berharga lainnya]. Saat bus mogok atau ban bocor, semua diam, tapi ada rasa solidaritas: "Sabar, Pak. Kita tunggu saja."

Di perhentian, semua turun bersama. Ke toilet, beli kopi, strech kaki. Ada obrolan ringan: "Lagi macet ya?", "Kapan sampai, Pak?", "Kerja di mana, Bu?"
Obrolan yang cepat, tapi tulus. Dan setelah itu, mereka kembali naik, duduk di tempat yang sama, seolah-olah ada ikatan yang terbentuk dalam waktu singkat.

Ini adalah bentuk komunitas transien, tidak permanen, tapi sangat manusiawi. Di tengah kehidupan kota yang individualistik, bus antar kota justru mengingatkan kita: kita tidak pernah benar-benar sendirian.

Tantangan yang Tak Terlihat: Fisik, Mental, dan Waktu

Tapi tentu, commuting jarak jauh bukan tanpa biaya. Fisik terkuras. Duduk berjam-jam bisa menyebabkan nyeri punggung, kram kaki, atau bahkan risiko trombosis vena dalam (DVT) jika tidak digerakkan. Kurang tidur karena berangkat subuh atau tiba larut malam. Pola makan tidak teratur. Belum lagi risiko keamanan: kecelakaan, copet, atau sopir yang ugal-ugalan.

Secara mental, perjalanan panjang bisa memicu kebosanan, kecemasan, atau depresi ringan. Terutama jika dilakukan sendiri, tanpa teman bicara. Ada perasaan terjebak: "Aku harus duduk di sini selama 8 jam, tidak bisa pergi, tidak bisa cepat."

Dan yang paling mahal? Waktu. 8 jam bolak-balik berarti 16 jam hilang setiap minggu. Itu sama dengan dua hari kerja. Waktu yang bisa digunakan untuk istirahat, berkumpul dengan keluarga, atau mengembangkan diri.

Tapi bagi mereka yang tidak punya pilihan (karena rumah, keluarga, atau biaya hidup) mereka rela membayar harga itu.

Bagaimana Membuat Perjalanan Lebih Bermakna?

Banyak komuter jarak jauh yang akhirnya mengubah bus menjadi ruang produktif dan menenangkan:

Mendengarkan audiobook atau podcast tentang pengembangan diri, bisnis, atau agama. Menulis jurnal atau ide bisnis di buku kecil. Menghafal Al-Qur'an, kitab suci, atau bahasa asing. Meditasi atau napas teratur untuk menenangkan pikiran. Tidur siang berkualitas, satu-satunya waktu tidur nyenyak dalam seminggu. Mengamati orang dan menulis cerita pendek dari imajinasi.

[Ketika tiba di Salatiga pada 14 Agustus 1994, sesungguhnya saya sudah terlambat masuk asrama hampir dua minggu lebih. Setelah beristirahat beberapa hari dan dibagi buku diary yang tebal, saya mulai menuliskan kembali kisah perjalanan pertama kali meninggalkan Pulau Flores menuju Pulau Jawa. Ada puisi, ada juga cerpen. Kisah pertama melewati Nusa Tenggara Barat dan Bali dua puluhan tahun kemudian menginspirasi saya menulis pentigraf (cerpen tiga paragraf) tentang Bung Karno yang dibuang ke Ende dan kembali dari pembuangan melewati ketiga pulau dengan tiga ciri khas mayoritas agama, Bali: Hindu, NTB: Islam dan NTT: Kristiani dalam buku saya yang berjudul BUNG KARNO DALAM TIGA PARAGRAF]

Beberapa bahkan membawa "travel kit" kecil: bantal leher, penutup mata, earphone, camilan sehat, dan air minum. Mereka menyadari: jika perjalanan tak bisa dihindari, maka jadikan ia sahabat.

(olahan Grok, dokpri)
(olahan Grok, dokpri)

Akhir Kata: Di Atas Roda, Kita Belajar Bertahan

Commuting dengan bus antar kota jarak jauh bukan gaya hidup. Ia adalah strategi bertahan. Ia adalah bentuk cinta yang diam: cinta pada keluarga, pada tanah kelahiran, pada harga diri yang tidak mau menyerah.

Dan dalam setiap kilometer yang ditempuh, ada cerita yang terbentuk. Tentang kesabaran. Tentang pengorbanan. Tentang harapan yang terus bergerak, seperti roda bus yang tak pernah berhenti.

Jadi, jika kamu pernah melihat seseorang turun dari bus dengan tas usang, mata lelah, tapi senyum tipis di wajah, jangan anggap ia hanya penumpang biasa.

Ia adalah pejuang perjalanan.
Ia adalah penjaga keseimbangan hidup.
Ia adalah bukti bahwa kadang, jarak terjauh bukan diukur dalam kilometer, tapi dalam keberanian untuk terus pulang.

Dan mungkin, tanpa sadar, kamu pun pernah menjadi salah satunya.
Di atas bus, di tengah malam, dengan hati yang berat dan doa yang ringan.
Bergerak. Terus bergerak. Menuju tempat yang disebut rumah.

***

[Menyusuri jalanan yang membentang luas, naik bus antarkota atau antarprovinsi adalah petualangan yang membius jiwa. Dari balik jendela, pemandangan sawah hijau, bukit yang menjulang, hingga gemerlap kota di malam hari menyapa dengan lembut, seolah mengundang untuk meresapi setiap detik perjalanan. Ada keajaiban dalam deru mesin bus yang setia mengantar, diiringi alunan musik nostalgia atau obrolan ringan sesama penumpang, menciptakan ikatan tak terucap yang menghangatkan hati. Setiap tikungan jalan terasa seperti lembaran baru dalam buku cerita, penuh harap dan kejutan yang menanti di tujuan.

Duduk di kursi bus, saya tak hanya bepergian, tapi juga menyelami mozaik kehidupan. Bau kopi dari pedagang kaki lima di terminal kecil, tawa anak-anak yang berlarian, atau senyum sopir yang penuh semangat, semua jadi bagian dari perjalanan yang membumi namun magis. Naik bus adalah tentang merangkul ketidakpastian dengan hati terbuka, menikmati ritme perjalanan yang kadang pelan, kadang cepat, namun selalu penuh makna. Ini bukan sekadar transportasi, tapi sebuah pengalaman yang mengajarkan bahwa perjalanan itu sendiri adalah tujuan, membawa kita lebih dekat pada dunia dan diri kita sendiri. Pengalaman semacam ini tak terulang meski kita mencobanya di kesempatan lain]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun