Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Commuting Jarak Jauh dengan Bus Antar Kota: Saat PERJALANAN Menjadi CERITA, Bukan Sekadar PERPINDAHAN

22 Agustus 2025   21:30 Diperbarui: 22 Agustus 2025   21:20 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan di dalam bus, semua perasaan itu muncul. Kadang kamu melihat penumpang menangis pelan sambil menatap foto di ponsel. Kadang kamu mendengar obrolan telepon yang penuh rindu: "Iya, Ma, besok aku pulang. Jangan khawatir."

Di sinilah psikologi perjalanan jauh terasa paling nyata: bus bukan hanya mengangkut tubuh, tapi juga mimpi, kerinduan, dan perjuangan.

Kehidupan di Dalam Bus: Komunitas Sementara yang Hangat

Anehnya, meski penumpang tidak saling kenal, bus antar kota menciptakan ikatan sesaat yang hangat.

Ada ritual-ritual kecil yang terbentuk secara alami seperti, Penumpang saling menawarkan makanan: "Mau? Saya bawa nasi bungkus." Orang tua membantu angkat barang penumpang lain. Sopir dan kondektur menyapa dengan akrab, bahkan tahu nama penumpang tetap. [Atau kondektur yang memberi kode-kode kepada penumpang untuk waspada pada bawaan yang jadi incaran maling kepepet: HP, dompet atau barang berharga lainnya]. Saat bus mogok atau ban bocor, semua diam, tapi ada rasa solidaritas: "Sabar, Pak. Kita tunggu saja."

Di perhentian, semua turun bersama. Ke toilet, beli kopi, strech kaki. Ada obrolan ringan: "Lagi macet ya?", "Kapan sampai, Pak?", "Kerja di mana, Bu?"
Obrolan yang cepat, tapi tulus. Dan setelah itu, mereka kembali naik, duduk di tempat yang sama, seolah-olah ada ikatan yang terbentuk dalam waktu singkat.

Ini adalah bentuk komunitas transien, tidak permanen, tapi sangat manusiawi. Di tengah kehidupan kota yang individualistik, bus antar kota justru mengingatkan kita: kita tidak pernah benar-benar sendirian.

Tantangan yang Tak Terlihat: Fisik, Mental, dan Waktu

Tapi tentu, commuting jarak jauh bukan tanpa biaya. Fisik terkuras. Duduk berjam-jam bisa menyebabkan nyeri punggung, kram kaki, atau bahkan risiko trombosis vena dalam (DVT) jika tidak digerakkan. Kurang tidur karena berangkat subuh atau tiba larut malam. Pola makan tidak teratur. Belum lagi risiko keamanan: kecelakaan, copet, atau sopir yang ugal-ugalan.

Secara mental, perjalanan panjang bisa memicu kebosanan, kecemasan, atau depresi ringan. Terutama jika dilakukan sendiri, tanpa teman bicara. Ada perasaan terjebak: "Aku harus duduk di sini selama 8 jam, tidak bisa pergi, tidak bisa cepat."

Dan yang paling mahal? Waktu. 8 jam bolak-balik berarti 16 jam hilang setiap minggu. Itu sama dengan dua hari kerja. Waktu yang bisa digunakan untuk istirahat, berkumpul dengan keluarga, atau mengembangkan diri.

Tapi bagi mereka yang tidak punya pilihan (karena rumah, keluarga, atau biaya hidup) mereka rela membayar harga itu.

Bagaimana Membuat Perjalanan Lebih Bermakna?

Banyak komuter jarak jauh yang akhirnya mengubah bus menjadi ruang produktif dan menenangkan:

Mendengarkan audiobook atau podcast tentang pengembangan diri, bisnis, atau agama. Menulis jurnal atau ide bisnis di buku kecil. Menghafal Al-Qur'an, kitab suci, atau bahasa asing. Meditasi atau napas teratur untuk menenangkan pikiran. Tidur siang berkualitas, satu-satunya waktu tidur nyenyak dalam seminggu. Mengamati orang dan menulis cerita pendek dari imajinasi.

[Ketika tiba di Salatiga pada 14 Agustus 1994, sesungguhnya saya sudah terlambat masuk asrama hampir dua minggu lebih. Setelah beristirahat beberapa hari dan dibagi buku diary yang tebal, saya mulai menuliskan kembali kisah perjalanan pertama kali meninggalkan Pulau Flores menuju Pulau Jawa. Ada puisi, ada juga cerpen. Kisah pertama melewati Nusa Tenggara Barat dan Bali dua puluhan tahun kemudian menginspirasi saya menulis pentigraf (cerpen tiga paragraf) tentang Bung Karno yang dibuang ke Ende dan kembali dari pembuangan melewati ketiga pulau dengan tiga ciri khas mayoritas agama, Bali: Hindu, NTB: Islam dan NTT: Kristiani dalam buku saya yang berjudul BUNG KARNO DALAM TIGA PARAGRAF]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun