Darto terdiam. Ia mengingat kata-kata ibunya dulu: "Air itu ibu. Kalau kau perlakukan dengan buruk, ia akan pergi. Tapi kalau kau hormati, ia akan memberi lebih dari yang kau minta."
Kini, di Desa Kembangkuning, hujan bukan lagi sekadar cuaca. Ia adalah ritual. Saat awan hitam datang, seluruh desa bersiap. Drum dibersihkan. Filter diganti. Api untuk penyulingan disiapkan. Dan ketika tetesan pertama jatuh, ada doa yang dipanjatkan, bukan untuk panen atau hujan yang lebat, tapi untuk kesucian.
Karena mereka telah belajar:
Air yang jernih bukan yang paling mudah didapat,
tapi yang paling sulit diperjuangkan.
Dan di ujung botol kecil yang berisi tetesan air bening itu,
tertulis satu kalimat yang kini menjadi motto desa:
"Jangan cari air bersih di bawah tanah.
Carilah di langit.
Tapi siapkan hati untuk menyambutnya."
***
Di suatu sudut desa, kabarnya, seorang investor dari kota diam-diam membeli tanah. Katanya, mau membangun "resort air suci". Tapi kali ini, warga tidak tertawa. Mereka hanya tersenyum, lalu menutup pintu dapur tempat penyulingan air berlangsung.
Karena mereka tahu:
air yang lahir dari perjuangan,
tak akan pernah bisa dibeli dengan uang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI