Dan ketika Darto mencicipinya, ia menangis. "Terasa... dingin, tapi hangat. Seperti air yang belum pernah disentuh manusia."
Beberapa bulan kemudian, hujan turun lagi. Tapi kali ini, tidak ada yang membiarkan air mengalir begitu saja. Drum-drum kosong, bekas minyak tanah, tempayan pecah, semua dijejerkan di bawah talang. Anak-anak berlari menyambut hujan, bukan untuk bermain, tapi untuk memastikan air masuk ke penampungan.
Tapi bukan berarti damai.
Di tengah desa, terjadi pertengkaran hebat antara Mbah Karman dan Pak Lurah, yang baru saja kedatangan investor dari kota.
"Kamu membuat orang jadi tergantung pada hujan? Gila!" bentak Pak Lurah. "Investor mau bangun depot air mineral! Tapi kalau semua orang pakai air hujan, siapa yang beli?"
Mbah Karman tertawa pelan. "Kalau air dari langit bisa lebih bersih dan lebih sehat, kenapa harus beli air dari tanah yang sudah diracuni pabrik?"
"Tapi kamu tidak punya izin! Ini bisa bikin kekacauan! Orang jadi tidak percaya pada sistem!"
"Sistem?" Mbah Karman menatap lurahnya tajam. "Sistem yang membiarkan anak-anak kami jerawatan, ibu-ibu muda wajahnya bopeng, karena air sumur penuh besi dan arsenik? Itu sistem atau kejahatan?"
Desa terbelah. Sebagian mengikuti Mbah Karman, membangun sistem penyulingan kecil di rumah. Sebagian lain menolak, takut dianggap sesat, atau takut kehilangan subsidi air dari pemerintah. Ada yang mencibir: "Air hujan? Itu air langit, bukan air manusia. Tidak bisa diatur, tidak bisa dikontrol. Mau jadi apa kita?"
Tapi kemudian, sesuatu terjadi.