Nyai Tumirah, perempuan paruh baya yang wajahnya penuh bopeng sejak kecil, meminum air hasil sulingan itu selama sebulan. Setiap pagi, ia membasuh muka dengan air tersebut, meminum segelas sebelum sarapan. Dan suatu pagi, tetangganya berteriak.
"Wajahmu... Nyai! Kulitmu... lebih halus!"
Benar. Bekas luka yang selama puluhan tahun menghiasi wajahnya, perlahan memudar. Bukan hilang sepenuhnya, tapi ada cahaya baru, seperti tanah yang kering tiba-tiba disirami embun subuh.
Dari situlah mulai. Air sulingan Mbah Karman, yang kini disebut Air Langit, menjadi barang mewah. Satu botol kecil, 250 ml, dihargai 50 ribu rupiah. Tidak semua bisa membeli. Tapi mereka yang bisa, merasakan perubahan: kulit lebih kenyal, tenggorokan tidak lagi kering, bahkan penderita asma merasa lebih lega bernapas.
Seorang dokter dari kota datang untuk meneliti. Ia membawa alat ukur pH. Hasilnya mengejutkan.
"pH-nya 8,2. Alkaline tinggi. Jauh di atas air PDAM yang hanya 6,5. Bahkan lebih bersih dari air kemasan premium. Ini... hampir seperti pristine water."
"Tapi dari mana?" tanya dokter itu, bingung.
"Dari langit," jawab Mbah Karman. "Tapi kami hanya membantunya kembali ke asalnya. Sebelum tanah mencemarinya."
Suatu malam, saat hujan reda, Darto bertanya, "Pak, kenapa air ini bisa begitu murni? Padahal hujannya turun di atas desa yang kotor?"
Mbah Karman menatap langit yang mulai berbintang. "Karena hujan itu sendiri adalah penyucian. Ia jatuh dari awan yang terbentuk dari uap laut, dari sungai, dari hutan, ia tidak tahu dosa. Yang membuatnya kotor adalah kita. Tanah kita. Atap kita. Keserakahan kita."
Ia menunjuk ke drum-drum yang berjajar di halaman. "Tapi kalau kita bersihkan hati dulu, maka kita akan tahu cara membersihkan air. Bukan sebaliknya."