Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Dua Wajah Tari Sekar Jagat

15 Agustus 2025   05:30 Diperbarui: 16 Agustus 2025   21:28 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(wajah penari sekar jagat dalam logo Lulur Sekar Jagat, dokpri)

Dua Wajah Tari Sekar Jagat

[cerita horor ini hanyalah pengembangan imajinatif dari hasil kunjungan siswa SMK Kesehatan Binatama Sleman ke Kantor/Pabrik Lulur Sekar Jagat di Denpasar. Konon Sekar Jagat merupakan tarian penyambutan selamat datang terhadap para pejabat. Berbarengan dengan itu, ada demo besar-besaran di Pati, Jawa Tengah, rakyat yang menolak pemimpinnya. Saya mencoba menulis versi yang berbeda tentang tari penyambutan kepada rakyat yang demo, melalui diri seorang cleaning servis yang kesurupan]

Denpasar. 

Pukul 00.15, Kamar 1005 The Mangga Hotel bergetar. Bukan oleh gempa, tapi jeritan melengking yang mengoyak sunyi. Seorang gadis cleaning service bernama Sari terguling di lantai marmer, tangannya mengepal seperti cakar, matanya terbalik hingga hanya putihnya yang kelihatan. Mulutnya berbusa, suaranya parau berubah menjadi desisan kuno: "Sekar Jagat... harus tari... tamu dari Mataram harus dijemput..."

Di luar jendela, kota masih gelap. Tapi di balik tirai kabut pagi, kota sudah berdarah.  

Pagi yang Terbelah

Sari tidak sendiri. Tiga staf hotel berdiri kaku di ambang pintu, napas tertahan. Mereka melihat tubuh kurus Sari menari, tidak, digerakkan. Gerakannya kaku, seperti wayang yang tali-talinya ditarik oleh tangan tak kasatmata. Kaki kanannya menginjak udara, lalu terhuyung ke kiri, tangan kiri menyemburkan tumpengan imajiner ke arah koridor. Itu adalah Sekar Jagat, tarian penyambutan khas Yogyakarta. Tapi gerakannya salah. Terlalu kaku. Terlalu marah.  

"Wajib... dijemput... dengan tari... atau... darah mengalir..." desis Sari, suaranya berganti-ganti antara suara anak muda dan renta. Di lehernya, urat-urat menonjol seperti ular kecil yang ingin keluar.  

Di luar, dentuman mulai terdengar.  

(siswa SMK Kesehatan Binatama foto bersama di depan kantor Lulur Sekar Jagat, dokpri)
(siswa SMK Kesehatan Binatama foto bersama di depan kantor Lulur Sekar Jagat, dokpri)
Darah di Trotoar

Pasar Induk kota itu sudah jadi medan perang. Ratusan orang (petani, buruh, ibu-ibu pasar) bermuka murka menggeruduk kantor bupati. Mereka bukan lagi berdemo. Mereka menghakimi.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun