"Turun! Turun! Turun!" teriak seorang pemuda sambil melempar batu ke arah mobil dinas berlapis kaca anti-peluru. Di dalamnya, seorang pejabat daerah terlihat pucat, tangan gemetar memegang handphone. Polisi yang berjaga di depan kantor bupati mulai mundur. Tidak ada yang berani menembak. Mereka (warga) terlalu banyak, terlalu lapar, terlalu marah. Â
"Kalian makan duit rakyat!"Â jerit seorang nenek sambil melempar cabe busuk ke wajah seorang camat yang mencoba kabur. Darah segar mengucur dari hidung camat itu. Â
Di kejauhan, sirine ambulans terdengar, tapi tidak ada yang berhenti. Â
Dua Dunia, Satu Jeritan Â
Kembali ke Kamar 1005. Â
Sari kini berdiri di atas tempat tidur, kedua tangannya terangkat seperti hendak memeluk langit. Matanya masih terbalik, tapi mulutnya tersenyum lebar, terlalu lebar, hingga bibirnya nyaris robek sampai telinga. Â
"Sekar Jagat... tarian syukur... tarian damai..." desisnya, suara bergetar seperti kaset rusak. Tiba-tiba, tubuhnya berputar cepat, terlalu cepat, hingga rambutnya menyapu dinding, meninggalkan goresan berdarah. "Tapi kalian... kalian... mengubur syukur dengan korupsi!"
Di luar, sebuah ledakan mengguncang. Gedung DPRD setempat terbakar. Asap hitam membubung, mengaburkan sinar matahari pagi yang baru saja muncul. Â
Ritual yang Tertukar Â
Manager hotel, Pak Hartono, berlari ke kamar 1005 sambil menggenggam gaharu dan kemenyan. Ia tahu ini bukan sekadar kesurupan biasa. Sari berasal dari desa kecil di lereng Merapi, tempat di mana leluhur masih dihormati, dan Sekar Jagat bukan sekadar tarian, tapi ritual syukur yang memanggil roh penjaga tanah. Â
"Tuhan... dia dipaksa tari Sekar Jagat..." bisik Pak Hartono, wajahnya pucat. "Tapi untuk siapa? Tamu dari Yogyakarta itu kan rombongan siswa... bukan pejabat!"Â