Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

[6] Kajian Interdisipliner terhadap Slogan Pegadaian: Solusi Masalah Tanpa Masalah

9 Agustus 2025   19:45 Diperbarui: 12 Agustus 2025   16:11 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan Chat GPT, dokpri)

Kajian Interdisipliner terhadap Slogan Pegadaian: "Solusi Masalah Tanpa Masalah" (Perspektif Yuridis, Filosofis, dan Linguistik)

Slogan "Solusi Masalah Tanpa Masalah" telah lama menjadi identitas kuat PT Pegadaian, lembaga keuangan milik negara yang berdiri sejak 1 April 1901. Slogan ini bukan sekadar jargon pemasaran, melainkan cerminan dari visi dan misi Pegadaian sebagai lembaga yang hadir untuk memberikan akses keuangan bagi masyarakat yang sering kali terpinggirkan dari sistem perbankan formal.

Dalam konteks kampanye terbaru "Bersama Pegadaian MengEMASkan Indonesia", slogan ini kembali mendapatkan relevansi baru, bukan hanya sebagai janji layanan, tetapi sebagai komitmen filosofis dan sosial.

Kajian ini akan menganalisis slogan tersebut dari tiga perspektif: yuridis, filosofis, dan linguistik, serta menjawab dua pertanyaan krusial: Sejak kapan slogan ini digunakan? dan Kelompok masyarakat mana yang sebenarnya ingin "diemaskan" oleh Pegadaian?

Aspek Yuridis: Janji Hukum dalam Layanan Keuangan

Dari sudut pandang hukum, slogan "Solusi Masalah Tanpa Masalah" bisa dibaca sebagai bentuk janji layanan (service promise) yang secara tidak langsung menjadi bagian dari ikatan perjanjian antara penyedia jasa dan konsumen.

Dalam kerangka hukum perdata Indonesia, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), pasal 1338 menyatakan bahwa perjanjian adalah sumber hukum yang mengikat. Meskipun slogan bukan bagian dari klausul kontrak formal, ia dapat dianggap sebagai bagian dari iklan yang mengandung janji (pasal 1367 KUHPer), yang bisa menjadi dasar gugatan jika tidak terpenuhi.

Lebih lanjut, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas, dan tidak menyesatkan. Jika masyarakat menginterpretasikan "tanpa masalah" sebagai jaminan bahwa tidak akan ada bunga tinggi, denda, atau risiko kehilangan barang gadai, maka Pegadaian berkewajiban hukum untuk memastikan bahwa layanannya memang sesuai dengan janji tersebut.

Namun, dalam praktiknya, Pegadaian telah mengambil langkah preventif melalui regulasi yang ketat. Sebagai BUMN, Pegadaian beroperasi di bawah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tentang Perusahaan Umum Pegadaian, yang kemudian diperbarui dalam kerangka Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Selain itu, sejak berlakunya POJK No. 27/2024 tentang Perlindungan Data dan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan, Pegadaian wajib memastikan bahwa seluruh proses transaksi (termasuk gadai, tabungan emas, dan pinjaman digital) dilakukan secara transparan, adil, dan aman.

Dengan demikian, slogan ini tidak hanya menjadi alat pemasaran, tetapi juga komitmen hukum terhadap perlindungan konsumen, terutama bagi kelompok masyarakat yang rentan terhadap eksploitasi keuangan.

Aspek Filosofis: Antara Harapan dan Realitas

Secara filosofis, slogan "Solusi Masalah Tanpa Masalah" mengandung paradoks yang menarik. Ia menyiratkan keberadaan solusi yang sempurna, sebuah dunia ideal di mana masalah bisa diatasi tanpa menimbulkan masalah baru. Dalam filsafat utilitarianisme, seperti yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, tindakan dianggap baik jika menghasilkan kebahagiaan maksimal dan penderitaan minimal. Dalam konteks ini, Pegadaian berusaha menjadi agen utilitas sosial: membantu masyarakat mengatasi kesulitan keuangan tanpa menambah beban psikologis, sosial, atau ekonomi.

Namun, filsuf seperti Karl Popper mengingatkan kita terhadap "masyarakat terbuka" yang selalu menghadapi masalah, dan solusi terbaik bukanlah menghilangkan masalah, tetapi mengelolanya secara rasional dan berkelanjutan. Dalam kerangka ini, slogan Pegadaian bisa dibaca sebagai upaya untuk mengurangi kompleksitas dan menyederhanakan akses ke keuangan, bukan menjanjikan kehidupan tanpa masalah.

Lebih dalam lagi, slogan ini mencerminkan nilai-nilai humanisme Indonesia, kepedulian terhadap sesama, gotong royong, dan keadilan sosial. Pegadaian hadir bukan sebagai predator keuangan, tetapi sebagai mitra yang empatik, yang memahami bahwa kemiskinan bukan soal moral, melainkan soal struktur. Maka, "tanpa masalah" di sini bukan berarti tanpa konsekuensi, tetapi tanpa beban yang tidak adil.

Namun, dari sudut pandang kritis, terutama dalam kerangka pemikiran filsuf Herbert Marcuse, slogan seperti "Solusi Masalah Tanpa Masalah" bisa dibaca sebagai bentuk manipulasi kesadaran yang khas dalam masyarakat industri maju. Dalam karyanya One-Dimensional Man (1964), Marcuse berargumen bahwa iklan dan narasi publik tidak lagi sekadar menjual produk, melainkan menciptakan kebutuhan palsu (false needs) dan menutupi realitas struktural kemiskinan dan ketimpangan.

Slogan yang menjanjikan solusi tanpa konsekuensi (masalah tanpa masalah), menurut pandangan ini, justru dapat menetralkan kritik sosial dengan membuat masyarakat percaya bahwa setiap masalah bisa diatasi secara individual melalui konsumsi atau layanan keuangan, tanpa perlu mempertanyakan sistem yang membuat mereka terus menerus mengalami krisis ekonomi.

Dalam konteks Pegadaian, meskipun layanannya nyata dan bermanfaat, slogan ini bisa berfungsi sebagai maskapai ideologis yang menggambarkan ketergantungan pada lembaga keuangan sebagai pilihan bebas, padahal bagi banyak orang miskin, menggadaikan barang adalah keputusan terpaksa, bukan pilihan yang benar-benar bebas. Dengan demikian, slogan tersebut (meski humanis di permukaan) berpotensi mereproduksi ketergantungan alih-alih membebaskan masyarakat dari struktur ekonomi yang menindas.

Aspek Linguistik: Retorika, Paradoks, dan Makna Tersembunyi

Dari segi linguistik, "Solusi Masalah Tanpa Masalah" adalah contoh sempurna dari retorika paradoks, penggunaan kata yang tampak kontradiktif untuk menarik perhatian dan memicu refleksi. Struktur kalimatnya simetris dan mudah diingat, menggunakan teknik anadiplosis (pengulangan kata di akhir dan awal), meskipun tidak langsung, namun secara fonetik menciptakan ritme yang kuat.

Secara semantik, kata "masalah" digunakan dua kali dengan makna berbeda:

Masalah pertama merujuk pada kesulitan hidup (seperti kebutuhan dana mendesak).

Masalah kedua merujuk pada risiko atau beban tambahan (seperti bunga tinggi, denda, atau stigmatisasi sosial).

Dengan demikian, slogan ini menyampaikan pesan: Kami tidak hanya menyelesaikan kesulitan Anda, tetapi kami melakukannya dengan cara yang tidak menambah tekanan baru. Ini adalah bentuk mitigasi stigma, karena sejak dulu, gadai sering dikaitkan dengan kemiskinan dan keputusasaan.

Secara pragmatik, slogan ini berfungsi sebagai strategi branding emosional. Ia tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga mengubah persepsi. Dari "tempat terakhir saat kesulitan" menjadi "mitra keuangan yang solutif dan manusiawi".

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Sejak Kapan Slogan Ini Digunakan?

Meskipun tidak ada catatan resmi yang menyebutkan tahun pasti kemunculan slogan "Solusi Masalah Tanpa Masalah", berdasarkan arsip iklan televisi dan publikasi perusahaan, slogan ini mulai populer sekitar awal 2000-an, tepatnya pada masa awal reformasi dan krisis ekonomi. Pada periode itu, Pegadaian bertransformasi dari lembaga yang dianggap "terakhir dipilih" menjadi solusi finansial yang diterima secara sosial.

Slogan ini menjadi semakin kuat seiring dengan kampanye "Pegadaian untuk Semua" dan "Gadai itu Mulia" pada 2010-an, yang bertujuan menghilangkan stigma bahwa menggadaikan barang adalah tanda kegagalan. Kini, slogan ini tetap dipertahankan, bahkan diperkuat oleh kampanye digital dan inisiatif seperti Pegadaian Media Awards 2025.

Siapa yang Ingin Dikemaskan oleh Pegadaian?

Melalui tema "Bersama Pegadaian MengEMASkan Indonesia", jelas bahwa target utama Pegadaian adalah masyarakat berpenghasilan rendah hingga menengah (MBRLM), terutama: 1) Pelaku UMKM yang butuh modal cepat tanpa agunan rumit. 2) Petani, nelayan, dan pedagang pasar yang tidak memiliki akses ke bank. 3) Generasi muda yang ingin mulai berinvestasi dengan modal kecil melalui Tabungan Emas. 4) Ibu rumah tangga yang ingin punya aset pribadi. 5) Masyarakat di daerah terpencil yang belum terjangkau layanan perbankan.

Data dari Kementerian BUMN (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 70% nasabah Pegadaian berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Selain itu, program Agen Pegadaian yang tersebar di 53.000 desa menunjukkan komitmen nyata untuk menjangkau "yang tak tersentuh" oleh sistem keuangan konvensional.

Namun, "mengEMASkan" di sini bukan hanya soal ekonomi. Ia juga soal dignitas, memberi rasa harga diri bahwa mereka juga bisa menabung, berinvestasi, dan punya masa depan yang cerah. Emas, dalam konteks ini, menjadi simbol keberlanjutan, stabilitas, dan harapan.

 

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Penutup: Slogan yang Lebih dari Kata-Kata

"Solusi Masalah Tanpa Masalah" bukan sekadar kalimat yang terdengar menenangkan. Ia adalah janji sosial, komitmen hukum, dan pencitraan filosofis dari sebuah lembaga yang ingin tetap relevan di tengah perubahan zaman. Di balik slogan itu, ada upaya besar untuk mengembalikan kepercayaan, menghapus stigma, dan memberi harapan.

Dan ketika Pegadaian berkata ingin MengEMASkan Indonesia, yang dimaksud bukan hanya logam mulia, tetapi mengangkat derajat rakyat kecil, satu gram demi satu gram, satu mimpi demi satu mimpi. Di sinilah, slogan bukan hanya dikatakan tetapi diwujudkan.

Referensi Relevan

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tentang Perusahaan Umum Pegadaian.
POJK No. 27/2024 tentang Perlindungan Data dan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan.
Kementerian BUMN. (2023). Laporan Kinerja PT Pegadaian (Persero).
OJK. (2024). Laporan Inklusi Keuangan Indonesia.
Saputro, D. (2021). Gadai sebagai Solusi Keuangan Inklusif: Studi Kasus Pegadaian. Jurnal Ekonomi dan Keuangan, 15(2), 45--60.
Kompas. (2025). Pegadaian Media Awards 2025 Dorong Literasi Keuangan melalui Karya Kreatif.
Marcuse, H. (1964) One-Dimensional Man.
Popper, K. (1945). The Open Society and Its Enemies.
Bentham, J. (1789). An Introduction to the Principles of Morals and Legislation.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun