Itulah yang membuatnya berbeda: integritas bukan sekadar kata, tapi pilihan. Dan pilihannya selalu jelas, di sisi rakyat.
Warisan yang Tak Terlihat: Integritas dan Keberanian
Kwik Kian Gie tidak pernah mencari penghormatan. Tapi justru karena itulah ia dihormati. Saat banyak pejabat mengejar pengaruh, ia memilih untuk berdiri. Saat banyak ekonom menyesuaikan analisis dengan kepentingan pemerintah, ia tetap setia pada data dan hati nuraninya.
Dalam dunia yang semakin pragmatis, Kwik adalah anomali yang mulia. Ia percaya bahwa ekonomi harus berpihak. Bahwa ilmu harus menjadi cermin bagi kekuasaan, bukan alatnya. Bahwa keberanian berpikir kritis adalah bentuk tertinggi dari cinta kepada bangsa.
Dan ketika ia mendirikan Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII) (kini dikenal sebagai Kwik Kian Gie School of Business) ia tidak sedang membangun sekolah bisnis biasa. Ia sedang menanam benih: bahwa pemimpin masa depan harus punya kecerdasan, tapi juga keberanian; punya strategi, tapi juga nurani.
Ketika Suara Itu Berhenti, Maka Tugas Kita Baru Dimulai
Pada 28 Juli 2025, pukul 22.00 WIB, Kwik Kian Gie menghembuskan napas terakhir. Duka menyelimuti banyak pihak, dari politisi lintas partai, ekonom, hingga jurnalis. Sandiaga Uno menyebutnya sebagai "mentor yang tak pernah lelah memperjuangkan kebenaran." Hendrawan Supratikno dari PDIP menyebutnya sebagai "ekonom berintegritas tinggi."
Tapi yang paling terasa bukan duka, melainkan kesadaran: kita kehilangan penjaga akal sehat bangsa.
Dan di sinilah letak harapan: bahwa tulisan Om Mezra, yang menghidupkan kembali suara Kwik, bukan hanya untuk mengenang, tapi untuk mengajak. Mengajak generasi muda (para ekonom, politisi, mahasiswa, aktivis) untuk mewarisi bukan hanya pemikirannya, tapi keberaniannya.
Karena jika semua ekonom diam demi jabatan, siapa yang akan bicara untuk rakyat?
Apa yang Kita Warisi dari Kwik Kian Gie?
Lebih dari sekadar teori ekonomi, warisan pemikiran dan keteladanan moralnya menjelma menjadi obor bagi keberpihakan dan keberanian berpikir.
Dalam pusaran sejarah ekonomi Indonesia, nama Kwik Kian Gie tak hanya muncul sebagai ekonom ulung atau mantan pejabat negara. Ia hadir sebagai sosok intelektual yang teguh, tak pernah takut menyuarakan yang benar meski berhadapan dengan gelombang kekuasaan atau opini publik yang berseberangan. Kini, ketika kita menoleh ke belakang, warisan Kwik tidak berhenti pada angka dan data, tetapi pada nilai-nilai mendalam yang jauh lebih abadi dan relevan.
Pertama, ia menegaskan bahwa ekonomi tidak pernah netral. Ekonomi bukan sekadar kalkulasi untung rugi atau pertumbuhan angka-angka makro. Bagi Kwik, ekonomi selalu berurusan dengan manusia, dan karena itu ia harus berpihak. Ia harus memilih: kepada yang kuat atau yang lemah. Dan Kwik memilih yang lemah, para petani kecil, buruh, nelayan, UMKM, dan kelompok-kelompok yang kerap dipinggirkan dalam narasi pembangunan. Dalam era ketika kebijakan sering tunduk pada tekanan pasar atau kepentingan elit, keberpihakan seperti ini menjadi bentuk keberanian yang langka.