Gaji seadanya bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan mendasar, tetapi guru tetap setia mendidik. Ini bukan sekadar profesi, tetapi panggilan hidup. Namun, apakah negara benar-benar hadir mendengarkan panggilan itu?
Puisi ini tidak bermaksud memusuhi pejabat, tetapi menuntut keadilan yang rasional. Ketimpangan dalam sistem penggajian adalah cerminan dari prioritas yang keliru. Mengapa seorang guru honorer harus menanti bertahun-tahun untuk diangkat, sementara beberapa pejabat bisa memegang lebih dari satu jabatan dan menerima gaji ganda tanpa pertanyaan? Pertanyaan-pertanyaan ini mencuat dari bait ketiga yang menyentuh esensi nilai: siapa sebenarnya yang membentuk bangsa?
Ironi terbesar adalah ketika bangsa ini membanggakan tokoh-tokoh besar yang dulunya dibentuk oleh guru-guru kecil. Dari ruang kelas berdinding bambu lahir generasi yang kini menduduki ruang ber-AC dengan karpet empuk. Namun, yang mengajar mereka dulu justru hidup dalam bayang-bayang pengabaian. Ketika kesejahteraan guru diabaikan, sesungguhnya kita sedang menulis masa depan dengan tinta ketimpangan.
Maka, puisi ini bukan sekadar kritik sastra, tetapi suara nurani. Ia mengajak kita untuk meninjau ulang arah pembangunan dan penghargaan terhadap profesi mulia ini. Pendidikan yang maju tak akan pernah tumbuh dari kebijakan yang pincang.
Sudah saatnya pemerintah membuka mata, bahwa membayar guru dengan layak bukanlah beban anggaran, melainkan investasi masa depan. Jika guru terus dilupakan, maka bangsa ini sedang menggali lubang bagi kecerdasannya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI