Ketimpangan yang Terpelihara: Di Meja Pejabat dan Papan Tulis Guru
Di negeri yang menjunjung tinggi semboyan "mencerdaskan kehidupan bangsa", ada ironi yang terus berlangsung dan perlahan menjadi biasa: pejabat publik bisa memegang lebih dari satu jabatan dengan gaji yang menggunung, sementara para guru, yang menjadi ujung tombak peradaban dan pendidikan, harus bergulat dengan penghasilan seadanya. Ketimpangan ini bukan sekadar angka dalam laporan keuangan negara, melainkan luka kolektif yang terus menganga dalam diam.
Puisi di bawah ini mencoba menangkap ironi tersebut dalam tiga bait sederhana. Sebuah renungan bagi siapa pun yang peduli pada masa depan bangsa: apakah keadilan sosial masih menjadi roh dari kehidupan bernegara kita?
Â
Di meja bundar berlapis emas,
pejabat rangkap jabatan tak pernah lepas,
dua, tiga, kadang empat gelar dan kursi,
dengan gaji mengalir deras seperti sungai tak henti.
Sementara guru di ujung desa,
menyulam mimpi anak bangsa dengan pelita yang hampir padam,
gajinya tak cukup untuk beli buku,
namun semangatnya lebih terang dari lampu kota.
Negeri ini lupa siapa yang menanam,
siapa yang membentuk huruf demi huruf jadi nama besar,
jika gaji adalah ukuran jasa,
mestinya guru tak lagi jadi cerita luka.
Puisi ini adalah cermin pahit dari realitas sosial di negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan. Dalam tiga bait yang padat namun penuh makna, saya mengajak pembaca untuk menyelami ironi bahwa pejabat dengan banyak jabatan menerima gaji yang berlipat, sementara guru yang menjadi pilar utama pencerdasan bangsa justru hidup dalam keterbatasan (bukan tidak ada perhatian, tetapi kurang maksimal).
Bait pertama menyorot gaya hidup mewah dan privilese yang dinikmati sebagian elit birokrasi. Jabatan rangkap menjadi simbol kekuasaan yang tak tersentuh, dengan gaji besar yang nyaris tak berbanding lurus dengan pengabdian.
Bait kedua adalah wajah lain dari realitas: seorang guru yang mengabdi di pelosok negeri (bahkan di sekolah-sekolah swasta kota). Ia digambarkan sebagai pelita yang hampir padam, sebuah metafora untuk perjuangan yang terus berjalan di tengah minimnya perhatian.
Gaji seadanya bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan mendasar, tetapi guru tetap setia mendidik. Ini bukan sekadar profesi, tetapi panggilan hidup. Namun, apakah negara benar-benar hadir mendengarkan panggilan itu?
Puisi ini tidak bermaksud memusuhi pejabat, tetapi menuntut keadilan yang rasional. Ketimpangan dalam sistem penggajian adalah cerminan dari prioritas yang keliru. Mengapa seorang guru honorer harus menanti bertahun-tahun untuk diangkat, sementara beberapa pejabat bisa memegang lebih dari satu jabatan dan menerima gaji ganda tanpa pertanyaan? Pertanyaan-pertanyaan ini mencuat dari bait ketiga yang menyentuh esensi nilai: siapa sebenarnya yang membentuk bangsa?
Ironi terbesar adalah ketika bangsa ini membanggakan tokoh-tokoh besar yang dulunya dibentuk oleh guru-guru kecil. Dari ruang kelas berdinding bambu lahir generasi yang kini menduduki ruang ber-AC dengan karpet empuk. Namun, yang mengajar mereka dulu justru hidup dalam bayang-bayang pengabaian. Ketika kesejahteraan guru diabaikan, sesungguhnya kita sedang menulis masa depan dengan tinta ketimpangan.
Maka, puisi ini bukan sekadar kritik sastra, tetapi suara nurani. Ia mengajak kita untuk meninjau ulang arah pembangunan dan penghargaan terhadap profesi mulia ini. Pendidikan yang maju tak akan pernah tumbuh dari kebijakan yang pincang.
Sudah saatnya pemerintah membuka mata, bahwa membayar guru dengan layak bukanlah beban anggaran, melainkan investasi masa depan. Jika guru terus dilupakan, maka bangsa ini sedang menggali lubang bagi kecerdasannya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI