Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Bayang yang Menjerit

7 Juli 2025   23:03 Diperbarui: 7 Juli 2025   23:03 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Bayang yang Menjerit

Hujan deras mengguyur ibu kota, menyapu jalanan hingga berkilau seperti cermin hitam. Di dalam mobil dinas yang melaju dengan kecepatan membabi buta, Menteri Darmawan duduk kaku, jari-jarinya mencengkeram pegangan pintu hingga buku-bukunya memutih. Keringat dingin membasahi kemeja sutranya, matanya liar menjelajahi setiap sudut mobil. Sopirnya, Pak Yanto, memegang kemudi dengan tangan gemetar, sesekali melirik ke kaca spion, bingung dengan teror yang melanda atasannya. 

"Cepat, Yanto! Jangan berhenti!" desis Darmawan, suaranya serak, seolah tercekik ketakutan. "Apa pun yang kau lihat, jangan berhenti!"

Malam ini bukan malam biasa. Menteri Darmawan, yang dulu diagungkan sebagai pahlawan rakyat, kini dikejar oleh sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Selama bertahun-tahun, ia memukau publik dengan kata-kata manis. "Satu rupiah pun keluargaku tidak menikmati uang negara," katanya dalam pidato-pidato megah, tangannya menepuk dada dengan penuh keyakinan. "Semua yang kami miliki adalah hasil kerja keras pribadi."

Namun, di balik topeng integritasnya, ia menyembunyikan dosa: pesawat dinas untuk liburan mewah keluarganya, proyek fiktif yang mengalirkan miliaran ke rekeningnya, dan janji-janji kosong yang membuat rakyat percaya ia adalah penyelamat. Kini, kebenaran itu memburunya, bukan dalam bentuk dokumen atau tuduhan, melainkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

Bisikan dari Kegelapan

Kengerian itu bermula seminggu lalu, di ruang kerjanya yang megah. Dinding-dinding marmer memantulkan cahaya lampu kristal, namun malam itu, ruangan terasa dingin seperti makam. Saat Darmawan menatap cermin antik di sudut ruangan, ia membeku.

Bayangannya di cermin bukanlah dirinya yang biasa, wajahnya pucat seperti mayat, matanya hitam legam tanpa pupil, dan mulutnya melengkung dalam senyum mengerikan yang tak pernah ia miliki. Ia menggosok mata, mengira itu ilusi akibat kelelahan.

Tapi cermin itu tiba-tiba bergetar, dan dari dalamnya terdengar bisikan yang membuat tulang punggungnya merinding: "Kau tak bisa menyembunyikan kebenaran, Darmawan."

Ia menoleh dengan jantung berdegup kencang. Ruangan kosong, hanya ada suara detak jam dinding yang seolah memperlambat waktu. "Ini cuma pikiran," gumamnya, mencoba menenangkan diri. Namun, saat ia meninggalkan ruangan, lampu-lampu di lorong berkedip-kedip, dan dari ujung koridor, ia mendengar langkah-langkah pelan, langkah yang persis seperti miliknya, namun lebih berat, lebih dingin.

Ia berlari ke mobilnya, tapi di kaca jendela mobil, bayangannya muncul lagi, kali ini lebih dekat, menatapnya dengan mata kosong yang penuh tuduhan.

Sejak itu, bayangan itu tak pernah pergi. Di setiap cermin, di setiap permukaan mengkilap, jendela, sendok perak, bahkan genangan air di trotoar, ia melihat dirinya sendiri, tapi bukan dirinya yang sekarang.

Bayangan itu adalah versi dirinya yang terdistorsi, wajahnya membusuk, mulutnya penuh gigi-gigi tajam, dan suaranya -oh, suaranya- seperti jeritan rakyat yang ia khianati, bergema di kepalanya setiap malam: "Kau mencuri dari mereka yang kelaparan. Kau menari di atas penderitaan mereka."

Pelarian di Malam Kelam

Kembali ke malam ini, mobil dinas melaju di jalan tol yang sepi, hujan mengaburkan pandangan. Wiper bergerak cepat, namun tak mampu menyingkirkan rasa takut yang mencengkeram dada Darmawan. Ia terus melirik kaca spion, takut melihat apa yang ia tahu akan ada di sana.

Tiba-tiba, lampu-lampu jalan di depan mereka berkedip-kedip, lalu padam satu per satu, menenggelamkan jalan dalam kegelapan pekat. Hanya sorot lampu mobil yang tersisa, dan bahkan itu mulai meredup, seolah ditelan oleh sesuatu.

"Yanto, apa itu?!" teriak Darmawan, menunjuk ke depan. Di tengah jalan, sesosok bayangan berdiri, tinggi dan ramping, mengenakan jas yang sama dengan yang ia kenakan malam ini. Wajahnya tersembunyi dalam kegelapan, tapi Darmawan tahu, itu adalah dia.

Bayangannya. Sosok itu tak bergerak, hanya berdiri, namun jarak antara mobil dan sosok itu seolah tak pernah berkurang, meski Pak Yanto telah menginjak gas hingga batas maksimal."Pak, tak ada apa-apa di sana!" seru Pak Yanto, suaranya penuh kebingungan. "Bapak kenapa? Tak ada orang di jalan!"

Darmawan tak bisa menjawab. Dadanya sesak, napasnya terputus-putus. Tiba-tiba, suara itu kembali, bukan bisikan lagi, melainkan jeritan yang mengguncang kepalanya: "Kau pikir kau bisa lari? Aku adalah kau, Darmawan. Aku adalah dosamu!" Di kaca spion, ia melihat bayangannya duduk di kursi belakang, tepat di belakangnya.

Wajah itu kini lebih mengerikan: kulitnya mengelupas, matanya meleleh seperti lilin hitam, dan mulutnya terbuka lebar, memperlihatkan gigi-gigi yang bergerak sendiri, seolah hidup.Darmawan menjerit, memukul-mukul kaca spion hingga retak. 

"Pergi! Tinggalkan aku!" teriaknya. Pak Yanto kehilangan kendali, mobil oleng, dan untuk sesaat, lampu depan menyapu sisi jalan.

Di sana, di tepi trotoar, berdiri barisan wajah-wajah pucat, wajah petani yang tanahnya dirampas, buruh yang upahnya dicuri, anak-anak yang kelaparan karena proyek fiktifnya. Mata mereka kosong, namun penuh kebencian, dan mulut mereka bergerak serentak, mengucapkan satu kata: "Pengkhianat."

Hutan yang Menelan

Darmawan memaksa Pak Yanto keluar dari tol, menuju jalan kecil yang dipenuhi pohon-pohon gelap. Ia berpikir, jika ia bisa mencapai rumahnya, ia akan aman. Tapi kegelapan seolah hidup, ranting-ranting pohon bergerak seperti tangan-tangan yang ingin mencengkeram.

Tiba-tiba, mesin mobil mati. Lampu padam, hujan berhenti seketika, dan keheningan mencekam menyelimuti mereka. Pak Yanto mencoba menyalakan mesin, tapi tak ada hasil. "Pak, ini tidak wajar!" katanya, suaranya bergetar. "Seperti ada yang mematikan mobil ini!"

Darmawan tak mendengar. Matanya terpaku pada kaca depan, di mana bayangannya kini berdiri di tengah jalan, hanya beberapa meter di depan mobil. Sosok itu mengangkat tangan, dan dari ujung jari-jarinya, bayang-bayang hitam merambat seperti asap, merayap ke arah mobil. 

"Buka pintu!" teriak Darmawan, mendorong pintu dan berlari ke dalam hutan di sisi jalan.

Pak Yanto memanggilnya, tapi suaranya tenggelam dalam deru angin yang tiba-tiba menderu.Darmawan berlari, cabang-cabang mencakar wajahnya, darah hangat mengalir di pipinya. Di belakangnya, ia mendengar langkah-langkah, bukan langkah manusia, melainkan dentuman berat yang mengguncang tanah. Ia menoleh, dan bayangannya ada di sana, berjalan perlahan, namun selalu hanya beberapa langkah di belakang.

Matanya yang hitam legam seolah menembus jiwanya, dan suaranya kini bercampur dengan jeritan rakyat: "Kau mencuri harapan mereka. Kau membunuh mimpi mereka."Ia tersandung dan jatuh ke dalam genangan air yang keruh.

Di permukaan air, ia melihat bukan hanya bayangannya, tetapi ratusan wajah, wajah rakyat yang ia khianati, wajah-wajah yang kini menjerit tanpa suara, tangan-tangan pucat mencuat dari air, mencengkeram kakinya. Ia menjerit, mencoba merangkak menjauh, tapi tanah di bawahnya berubah menjadi lumpur yang menariknya ke bawah, seolah ingin menelannya hidup-hidup.

Puncak Kengerian

Bayangan itu kini berdiri di atasnya, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Darmawan. Kulitnya kini benar-benar membusuk, dagingnya terkelupas, memperlihatkan tulang yang bergerak sendiri. "Kau tak bisa lari dari dirimu sendiri," katanya, suaranya seperti ribuan pisau yang mengiris udara. "Setiap kebohonganmu membentuk aku. Setiap air mata rakyat memperkuat aku. Sekarang, kau milikku."

Darmawan mencoba berteriak, tapi suaranya lenyap, seolah tenggorokannya dicekik oleh tangan tak terlihat. Dari kegelapan di sekitarnya, wajah-wajah rakyat muncul, mengelilinginya dalam lingkaran. Mereka tak lagi hanya bayangan, tubuh mereka setengah membusuk, tangan mereka mencakar udara, dan mata mereka menangis darah. 

"Pengkhianat!" jerit mereka serentak, suara mereka mengguncang hutan hingga pohon-pohon bergoyang.

Bayangan Darmawan meraih wajahnya, jari-jarinya yang dingin seperti es menusuk kulitnya. "Kau akan hidup bersama kami," bisiknya. "Di tempat di mana kebohonganmu akan mengoyakmu setiap detik, selamanya." 

Tiba-tiba, tanah di bawah Darmawan amblas, dan ia jatuh ke dalam kegelapan yang tak berujung. Jeritannya bergema, tapi tak ada yang mendengar, kecuali bayangannya, yang kini tertawa, suaranya bercampur dengan tangis rakyat.

Pagi yang Mati

Pagi itu, mobil dinas ditemukan terbengkalai di pinggir jalan. Pak Yanto ditemukan di dalam, pingsan dengan wajah penuh kengerian, rambutnya memutih dalam semalam. Di hutan, tak ada jejak Menteri Darmawan, hanya sebuah cermin kecil yang retak, ditemukan di tengah genangan air yang kini berwarna merah tua.

Di permukaannya, samar-samar terlihat bayangan seorang pria yang menjerit, dikelilingi wajah-wajah pucat yang tak pernah berhenti menatap.Di ibu kota, berita tentang hilangnya Menteri Darmawan mengguncang publik. Dokumen-dokumen penyelewengannya terbongkar, memicu kemarahan rakyat.

Tapi di malam-malam sepi, di kedai-kedai kopi dan gang-gang sempit, orang-orang berbisik tentang sesuatu yang lain: bahwa Menteri Darmawan tak benar-benar hilang. Ia masih ada, terperangkap di dunia bayangan, dikejar oleh dirinya sendiri, dihantui oleh jeritan rakyat yang ia khianati.

Dan di setiap cermin, di setiap genangan air, bayangannya masih menunggu, bukan untuknya, tapi untuk pejabat lain yang berani mengulangi dosanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun