Tiba-tiba, mesin mobil mati. Lampu padam, hujan berhenti seketika, dan keheningan mencekam menyelimuti mereka. Pak Yanto mencoba menyalakan mesin, tapi tak ada hasil. "Pak, ini tidak wajar!" katanya, suaranya bergetar. "Seperti ada yang mematikan mobil ini!"
Darmawan tak mendengar. Matanya terpaku pada kaca depan, di mana bayangannya kini berdiri di tengah jalan, hanya beberapa meter di depan mobil. Sosok itu mengangkat tangan, dan dari ujung jari-jarinya, bayang-bayang hitam merambat seperti asap, merayap ke arah mobil.Â
"Buka pintu!"Â teriak Darmawan, mendorong pintu dan berlari ke dalam hutan di sisi jalan.
Pak Yanto memanggilnya, tapi suaranya tenggelam dalam deru angin yang tiba-tiba menderu.Darmawan berlari, cabang-cabang mencakar wajahnya, darah hangat mengalir di pipinya. Di belakangnya, ia mendengar langkah-langkah, bukan langkah manusia, melainkan dentuman berat yang mengguncang tanah. Ia menoleh, dan bayangannya ada di sana, berjalan perlahan, namun selalu hanya beberapa langkah di belakang.
Matanya yang hitam legam seolah menembus jiwanya, dan suaranya kini bercampur dengan jeritan rakyat: "Kau mencuri harapan mereka. Kau membunuh mimpi mereka."Ia tersandung dan jatuh ke dalam genangan air yang keruh.
Di permukaan air, ia melihat bukan hanya bayangannya, tetapi ratusan wajah, wajah rakyat yang ia khianati, wajah-wajah yang kini menjerit tanpa suara, tangan-tangan pucat mencuat dari air, mencengkeram kakinya. Ia menjerit, mencoba merangkak menjauh, tapi tanah di bawahnya berubah menjadi lumpur yang menariknya ke bawah, seolah ingin menelannya hidup-hidup.
Puncak Kengerian
Bayangan itu kini berdiri di atasnya, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Darmawan. Kulitnya kini benar-benar membusuk, dagingnya terkelupas, memperlihatkan tulang yang bergerak sendiri. "Kau tak bisa lari dari dirimu sendiri," katanya, suaranya seperti ribuan pisau yang mengiris udara. "Setiap kebohonganmu membentuk aku. Setiap air mata rakyat memperkuat aku. Sekarang, kau milikku."
Darmawan mencoba berteriak, tapi suaranya lenyap, seolah tenggorokannya dicekik oleh tangan tak terlihat. Dari kegelapan di sekitarnya, wajah-wajah rakyat muncul, mengelilinginya dalam lingkaran. Mereka tak lagi hanya bayangan, tubuh mereka setengah membusuk, tangan mereka mencakar udara, dan mata mereka menangis darah.Â
"Pengkhianat!"Â jerit mereka serentak, suara mereka mengguncang hutan hingga pohon-pohon bergoyang.
Bayangan Darmawan meraih wajahnya, jari-jarinya yang dingin seperti es menusuk kulitnya. "Kau akan hidup bersama kami," bisiknya. "Di tempat di mana kebohonganmu akan mengoyakmu setiap detik, selamanya."Â
Tiba-tiba, tanah di bawah Darmawan amblas, dan ia jatuh ke dalam kegelapan yang tak berujung. Jeritannya bergema, tapi tak ada yang mendengar, kecuali bayangannya, yang kini tertawa, suaranya bercampur dengan tangis rakyat.