Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Bayang yang Menjerit

7 Juli 2025   23:03 Diperbarui: 7 Juli 2025   23:03 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Tiba-tiba, mesin mobil mati. Lampu padam, hujan berhenti seketika, dan keheningan mencekam menyelimuti mereka. Pak Yanto mencoba menyalakan mesin, tapi tak ada hasil. "Pak, ini tidak wajar!" katanya, suaranya bergetar. "Seperti ada yang mematikan mobil ini!"

Darmawan tak mendengar. Matanya terpaku pada kaca depan, di mana bayangannya kini berdiri di tengah jalan, hanya beberapa meter di depan mobil. Sosok itu mengangkat tangan, dan dari ujung jari-jarinya, bayang-bayang hitam merambat seperti asap, merayap ke arah mobil. 

"Buka pintu!" teriak Darmawan, mendorong pintu dan berlari ke dalam hutan di sisi jalan.

Pak Yanto memanggilnya, tapi suaranya tenggelam dalam deru angin yang tiba-tiba menderu.Darmawan berlari, cabang-cabang mencakar wajahnya, darah hangat mengalir di pipinya. Di belakangnya, ia mendengar langkah-langkah, bukan langkah manusia, melainkan dentuman berat yang mengguncang tanah. Ia menoleh, dan bayangannya ada di sana, berjalan perlahan, namun selalu hanya beberapa langkah di belakang.

Matanya yang hitam legam seolah menembus jiwanya, dan suaranya kini bercampur dengan jeritan rakyat: "Kau mencuri harapan mereka. Kau membunuh mimpi mereka."Ia tersandung dan jatuh ke dalam genangan air yang keruh.

Di permukaan air, ia melihat bukan hanya bayangannya, tetapi ratusan wajah, wajah rakyat yang ia khianati, wajah-wajah yang kini menjerit tanpa suara, tangan-tangan pucat mencuat dari air, mencengkeram kakinya. Ia menjerit, mencoba merangkak menjauh, tapi tanah di bawahnya berubah menjadi lumpur yang menariknya ke bawah, seolah ingin menelannya hidup-hidup.

Puncak Kengerian

Bayangan itu kini berdiri di atasnya, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Darmawan. Kulitnya kini benar-benar membusuk, dagingnya terkelupas, memperlihatkan tulang yang bergerak sendiri. "Kau tak bisa lari dari dirimu sendiri," katanya, suaranya seperti ribuan pisau yang mengiris udara. "Setiap kebohonganmu membentuk aku. Setiap air mata rakyat memperkuat aku. Sekarang, kau milikku."

Darmawan mencoba berteriak, tapi suaranya lenyap, seolah tenggorokannya dicekik oleh tangan tak terlihat. Dari kegelapan di sekitarnya, wajah-wajah rakyat muncul, mengelilinginya dalam lingkaran. Mereka tak lagi hanya bayangan, tubuh mereka setengah membusuk, tangan mereka mencakar udara, dan mata mereka menangis darah. 

"Pengkhianat!" jerit mereka serentak, suara mereka mengguncang hutan hingga pohon-pohon bergoyang.

Bayangan Darmawan meraih wajahnya, jari-jarinya yang dingin seperti es menusuk kulitnya. "Kau akan hidup bersama kami," bisiknya. "Di tempat di mana kebohonganmu akan mengoyakmu setiap detik, selamanya." 

Tiba-tiba, tanah di bawah Darmawan amblas, dan ia jatuh ke dalam kegelapan yang tak berujung. Jeritannya bergema, tapi tak ada yang mendengar, kecuali bayangannya, yang kini tertawa, suaranya bercampur dengan tangis rakyat.

Pagi yang Mati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun