Sejak itu, bayangan itu tak pernah pergi. Di setiap cermin, di setiap permukaan mengkilap, jendela, sendok perak, bahkan genangan air di trotoar, ia melihat dirinya sendiri, tapi bukan dirinya yang sekarang.
Bayangan itu adalah versi dirinya yang terdistorsi, wajahnya membusuk, mulutnya penuh gigi-gigi tajam, dan suaranya -oh, suaranya- seperti jeritan rakyat yang ia khianati, bergema di kepalanya setiap malam: "Kau mencuri dari mereka yang kelaparan. Kau menari di atas penderitaan mereka."
Pelarian di Malam Kelam
Kembali ke malam ini, mobil dinas melaju di jalan tol yang sepi, hujan mengaburkan pandangan. Wiper bergerak cepat, namun tak mampu menyingkirkan rasa takut yang mencengkeram dada Darmawan. Ia terus melirik kaca spion, takut melihat apa yang ia tahu akan ada di sana.
Tiba-tiba, lampu-lampu jalan di depan mereka berkedip-kedip, lalu padam satu per satu, menenggelamkan jalan dalam kegelapan pekat. Hanya sorot lampu mobil yang tersisa, dan bahkan itu mulai meredup, seolah ditelan oleh sesuatu.
"Yanto, apa itu?!" teriak Darmawan, menunjuk ke depan. Di tengah jalan, sesosok bayangan berdiri, tinggi dan ramping, mengenakan jas yang sama dengan yang ia kenakan malam ini. Wajahnya tersembunyi dalam kegelapan, tapi Darmawan tahu, itu adalah dia.
Bayangannya. Sosok itu tak bergerak, hanya berdiri, namun jarak antara mobil dan sosok itu seolah tak pernah berkurang, meski Pak Yanto telah menginjak gas hingga batas maksimal."Pak, tak ada apa-apa di sana!" seru Pak Yanto, suaranya penuh kebingungan. "Bapak kenapa? Tak ada orang di jalan!"
Darmawan tak bisa menjawab. Dadanya sesak, napasnya terputus-putus. Tiba-tiba, suara itu kembali, bukan bisikan lagi, melainkan jeritan yang mengguncang kepalanya: "Kau pikir kau bisa lari? Aku adalah kau, Darmawan. Aku adalah dosamu!" Di kaca spion, ia melihat bayangannya duduk di kursi belakang, tepat di belakangnya.
Wajah itu kini lebih mengerikan: kulitnya mengelupas, matanya meleleh seperti lilin hitam, dan mulutnya terbuka lebar, memperlihatkan gigi-gigi yang bergerak sendiri, seolah hidup.Darmawan menjerit, memukul-mukul kaca spion hingga retak.Â
"Pergi! Tinggalkan aku!" teriaknya. Pak Yanto kehilangan kendali, mobil oleng, dan untuk sesaat, lampu depan menyapu sisi jalan.
Di sana, di tepi trotoar, berdiri barisan wajah-wajah pucat, wajah petani yang tanahnya dirampas, buruh yang upahnya dicuri, anak-anak yang kelaparan karena proyek fiktifnya. Mata mereka kosong, namun penuh kebencian, dan mulut mereka bergerak serentak, mengucapkan satu kata: "Pengkhianat."
Hutan yang Menelan
Darmawan memaksa Pak Yanto keluar dari tol, menuju jalan kecil yang dipenuhi pohon-pohon gelap. Ia berpikir, jika ia bisa mencapai rumahnya, ia akan aman. Tapi kegelapan seolah hidup, ranting-ranting pohon bergerak seperti tangan-tangan yang ingin mencengkeram.