Gala Literasi Nusantara: Lebih Ribet daripada Buka Lowongan Kerja yang Tidak Pernah Ada
Â
Pagi itu, panitia Gala Literasi Nusantara 2025 berkumpul. Agenda: menyeleksi calon penerima penghargaan. Suasana ruangan tegang, layaknya rapat perang sebelum serangan dimulai.
"Jadi... siapa saja yang akan kita undang sebagai nominator tahun ini?" tanya Ketua Panitia, sambil melirik dokumen setebal ensiklopedia.
"Ada Sindunata, Melanie Eka Budianta yang terpilih sebagai Cendekiawan Berdedikasi 2025, lalu ada juga komunitas perpustakaan keliling dari Sumba," jawab anggota panitia, membacakan daftar. [Romo G.P. Sindunata, SJ, seorang imam Katolik yang juga pengulas sepakbola di Harian Kompas yang tulisannya begitu memukau. Ibu Prof Dr. Melanie Eka Budianta, guru besar sastra Universitas Indonesia]
"Oh ya, tapi kita harus pastikan mereka bisa datang, ya. Jangan sampai nanti pas acara, kita kasih penghargaan ke penerima, padahal mereka lagi nonton acaranya dari rumah," celetuk anggota lain.
Semua tertawa. Tapi sayangnya, bukan lelucon belaka. Proses seleksi memang bisa lebih melelahkan karena mencari yang benar-benar berdedikasi dalam literasi selama tahun 2025 ini, daripada naik Gunung Gede tanpa bekal air mineral.
Ajang Penghargaan yang Bikin Stres (Tapi Masih Lebih Baik daripada Lowongan Kerja Kosong)
Setelah berminggu-minggu berdiskusi, membuat kriteria, revisi makna "dedikasi", hingga bertengkar soal apakah membaca koran sambil makan bubur ayam termasuk literasi atau tidak, akhirnya nama-nama pemenang pun terpilih.
Panitia langsung menghubungi para tokoh tersebut untuk konfirmasi kehadiran.
"Assalamualaikum Prof, kami dari Gala Literasi Nusantara ingin mengundang Bapak/Ibu untuk hadir sebagai penerima penghargaan..."