Malam sebelum ia meninggal pada 2 Februari 2021, kami berbicara lama lewat telepon. Saya sedang berjuang melawan ganasnya Covid Delta, dan suara mama, meski lemah, penuh dengan cinta yang tak pernah meminta balasan. "Jagalah adik-adik. Biarkan mama yang menanggung sakit kalian,"Â katanya, seakan ingin memikul semua beban anak-anaknya. Pukul dua dini hari, ia pergi selamanya, meninggalkan saya dengan penyesalan karena tak sempat memeluknya untuk terakhir kali.Â
Saya dan keempat adik yang berada di luar Flores tidak bisa pulang karena ketatnya protokoler covid kala itu. Namun, warisan darinya -nama kakek yang ia turunkan saya dan kemudian saya wariskan kepada anak-anak saya- adalah pengingat bahwa kebangsawanan sejati bukan pada tahta, melainkan pada hati yang penuh kasih dan kebijaksanaan.
Pelajaran dari Dua Guru Terbesar
Ayah dan mama adalah pendidik utama bagi kami, enam bersaudara. Mereka tak pernah menuntut balasan, karena cinta orang tua adalah anugerah yang mengalir tanpa syarat. Dari ayah, saya belajar bahwa pendidikan adalah panggilan suci, sebuah tugas yang tak diukur dengan gaji atau pengakuan, melainkan dengan cahaya di mata murid-muridnya.Â
Dari mama, saya memahami bahwa kebijaksanaan sejati lahir dari pengalaman dan empati, bukan ijazah atau gelar. Mereka mengajarkan saya untuk mensyukuri hidup, tetap rendah hati, dan memberikan yang terbaik, apa pun keadaannya.
Di hari-hari libur sekolah seperti sekarang, ketika anak-anak menikmati waktu luang dan para guru sibuk menyiapkan administrasi, saya sering duduk di bawah pohon mangga yang ditanam ayah di halaman rumah. Dalam bayang-bayang daunnya, saya mendengar suara ayah menjelaskan rumus matematika dan tawa mama saat mencicipi masakan.Â
Kenangan itu adalah pengingat bahwa mereka tak pernah benar-benar pergi. Mereka hidup dalam doa-doa saya, dalam tindakan sehari-hari, dan dalam setiap pelajaran yang saya wariskan kepada anak-anak saya.
Pak Suyatmin: Jejak Dedikasi yang Tak Ternilai
Kisah tentang pendidikan dan pengorbanan tak lengkap tanpa menyebut sosok seperti Pak Suyatmin, seorang guru di SMK Karya Rini yang mengakhiri pengabdiannya tepat di hari ulang tahunnya yang ke-60. Puluhan tahun ia habiskan untuk mendidik generasi muda, membimbing mereka dengan kesabaran dan cinta, meski apa yang ia terima sebagai hak seorang guru tak pernah sebanding dengan dedikasinya. Namun, bagi Pak Suyatmin (dan seluruh guru di mana pun), mengajar bukan soal gaji atau penghargaan. Ia pernah berkata, "Ada banyak hal yang tak terhitung dengan uang yang saya berikan kepada para siswa, dan itulah yang paling berharga."
Seperti kisah ayah saya, Pak Suyatmin adalah teladan bahwa nilai sejati seorang pendidik terletak pada dampak yang ia tinggalkan. Ia menceritakan tentang seorang murid yang dulunya nakal, namun kini menjadi pekerja hotel andal berkat dorongan dan kepercayaan yang ia tanamkan. "Saat ia datang dan mengucapkan terima kasih, itulah gaji terbesar saya," ujarnya dengan suara penuh haru. Dedikasinya mengingatkan kita bahwa ilmu dan perhatian yang diberikan kepada siswa adalah investasi tak ternilai, jauh melampaui hitungan materi.
Warisan Abadi para Pendidik
Kisah Pak Suyatmin adalah cermin dari banyak guru dan orang tua di luar sana, termasuk ayah dan mama saya, yang memberikan segalanya tanpa mengharapkan balasan. Mereka mengajarkan bahwa pendidikan adalah panggilan jiwa, sebuah tugas mulia yang tak bisa diukur dengan uang. Ketika Pak Suyatmin pensiun, ia mungkin tak membawa pulang kekayaan, tetapi ia meninggalkan jejak di hati ratusan siswa, warisan yang sama seperti yang ditinggalkan ayah saya saat ribuan orang mengantarkannya ke peristirahatan terakhir, atau mama saya saat resep dan nasihatnya terus hidup di desa kami.